Washington, D.C. – Mantan Presiden Amerika Serikat, Donald J. Trump, kembali melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan perdagangan internasional Negeri Paman Sam. Dalam pidatonya di hadapan pendukungnya baru-baru ini, Trump menyebut Indonesia sebagai salah satu negara yang “memanfaatkan” pasar Amerika, dengan mengekspor berbagai produk tanpa dikenai tarif masuk, sementara barang-barang asal AS dikenai bea hingga 19 persen saat masuk ke Indonesia.
“Indonesia mengirimkan barang ke Amerika tanpa membayar apa-apa. Nol persen! Tapi saat kita mengirim barang ke mereka, kita harus bayar 19 persen. Tidak adil,” tegas Trump dengan nada tinggi, seperti dikutip dalam cuplikan pidatonya yang viral di media sosial.
Pernyataan tersebut langsung menyulut perhatian banyak pihak, termasuk pelaku usaha dan pengamat hubungan bilateral Indonesia-AS. Meskipun Trump sudah tak lagi menjabat, suaranya masih punya gaung besar, terutama menjelang Pilpres AS 2024 di mana ia kembali mencalonkan diri.
Ketimpangan Tarif?
Secara teknis, pernyataan Trump tidak sepenuhnya salah—namun juga tidak sepenuhnya benar. Dalam skema perdagangan bilateral, banyak produk Indonesia yang memang masuk ke pasar AS melalui skema Generalized System of Preferences (GSP), yakni fasilitas bebas tarif impor yang diberikan AS kepada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia—meski sempat dicabut pada masa Trump dan baru dipulihkan kembali sebagian setelahnya.
Di sisi lain, Indonesia memang masih menerapkan bea masuk terhadap sejumlah komoditas asal Amerika, terutama barang konsumsi, produk otomotif, hingga elektronik. Namun, tarif 19 persen yang disebutkan Trump bukanlah tarif rata-rata, melainkan angka maksimum dari pos tarif tertentu.
“Angka 19 persen itu mengacu pada pos-pos tertentu yang memang punya tarif tinggi, tapi tidak mencerminkan keseluruhan hubungan dagang antara kedua negara,” ujar Ekonom Perdagangan Internasional dari Universitas Indonesia, Dr. Fitri Handayani. “Pernyataan Trump bersifat politis dan generalisasi.”
Respons Indonesia: Diplomasi Tenang, Tapi Waspada
Pemerintah Indonesia sejauh ini belum memberikan respons resmi terhadap pernyataan Trump. Namun, sumber dari Kementerian Perdagangan yang enggan disebut namanya mengatakan bahwa pemerintah tak ingin terseret dalam pusaran retorika kampanye AS.
“Kami memantau, tentu. Tapi kami tidak akan bereaksi berlebihan terhadap narasi kampanye yang belum tentu mencerminkan kebijakan resmi,” ujar pejabat tersebut.
Sikap Indonesia yang memilih tenang dinilai tepat oleh sejumlah pengamat, namun tetap perlu mewaspadai kemungkinan kebijakan dagang yang lebih agresif dari AS bila Trump kembali berkuasa.
“Bukan hanya Indonesia yang jadi sasaran, tapi hampir semua negara mitra dagang AS selalu dikritik oleh Trump,” ungkap Direktur Eksekutif Center for Strategic Trade Studies (CSTS), Budi Santoso. “Dia selalu mengusung narasi proteksionisme demi menggaet suara pekerja industri AS.”
Perdagangan Bilateral dalam Angka
Data terakhir menunjukkan bahwa nilai ekspor Indonesia ke AS pada 2023 mencapai sekitar USD 27 miliar, dengan produk utama berupa tekstil, alas kaki, furnitur, dan komponen elektronik. Sementara ekspor AS ke Indonesia hanya sekitar USD 10 miliar, didominasi oleh kedelai, pesawat terbang, serta peralatan industri.
Kondisi ini memang menunjukkan surplus perdagangan di pihak Indonesia, namun para ekonom menekankan bahwa neraca tersebut tidak bisa dijadikan dasar untuk menerapkan tindakan sepihak seperti tarif tambahan.
“Hubungan dagang bukan hanya soal defisit atau surplus, tapi juga tentang investasi, teknologi, dan kerja sama strategis,” tutur Dr. Fitri.