Jakarta – Tim kuasa hukum 16 mahasiswa Universitas Trisakti yang ditahan pasca aksi unjuk rasa menyampaikan permohonan penangguhan penahanan kepada pihak kepolisian. Permohonan ini diajukan menyusul kekhawatiran publik akan potensi pembatasan ruang demokrasi dan kriminalisasi terhadap gerakan mahasiswa yang dikenal vokal menyuarakan kritik sosial.
Ke-16 mahasiswa tersebut ditangkap aparat kepolisian usai aksi demonstrasi di depan Gedung DPR/MPR RI yang digelar pekan lalu. Aksi itu sendiri berlangsung dalam rangka memperingati momentum reformasi 1998, sekaligus menyuarakan sejumlah tuntutan terkait kondisi sosial, ekonomi, dan politik nasional.
Tim hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang mendampingi para mahasiswa menyatakan bahwa penahanan ini tidak proporsional, mengingat para mahasiswa tersebut tidak melakukan tindak kekerasan atau pelanggaran berat.
“Mereka adalah mahasiswa yang sedang menjalankan hak konstitusional untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Tidak seharusnya ruang kritik dijawab dengan tindakan represif,” ujar pengacara LBH, Febrina Ardiansyah, dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta, Jumat (24/5).
Langkah Hukum dan Jaminan
Dalam pengajuan penangguhan tersebut, tim kuasa hukum juga menyertakan surat jaminan dari pihak kampus, keluarga, serta tokoh masyarakat. Pihak Universitas Trisakti disebut telah menyatakan kesiapan untuk menjamin perilaku kooperatif para mahasiswa apabila penangguhan dikabulkan.
“Pihak universitas telah menyampaikan komitmen untuk melakukan pembinaan terhadap para mahasiswa. Ini menunjukkan bahwa penahanan bukan satu-satunya opsi untuk menjamin proses hukum berjalan,” tambah Febrina.
Permohonan penangguhan ini diajukan ke penyidik Polda Metro Jaya yang menangani kasus tersebut. Hingga kini, polisi belum memberikan keputusan resmi terkait permintaan tersebut. Namun, Kabid Humas Polda Metro Jaya menyatakan bahwa pihaknya akan mempertimbangkan seluruh aspek sebelum mengambil keputusan, termasuk bukti-bukti dan kemungkinan pelanggaran hukum yang terjadi saat aksi.
Sorotan Publik dan Solidaritas Kampus
Penahanan mahasiswa Trisakti ini memicu reaksi luas dari masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis HAM. Sejumlah organisasi mahasiswa lintas kampus menggelar aksi solidaritas di berbagai kota, menuntut pembebasan tanpa syarat terhadap rekan-rekan mereka.
Di media sosial, tagar seperti #BebaskanMahasiswa dan #ReformasiDikorupsi kembali mencuat, menunjukkan bahwa semangat perlawanan terhadap represi politik masih mengakar kuat di kalangan muda.
Pengamat hukum dari Universitas Indonesia, Dr. Zainal Arifin Mochtar, menilai bahwa tindakan penahanan terhadap mahasiswa demonstran harus ditelaah dengan prinsip proporsionalitas dan perlindungan hak asasi.
“Demokrasi yang sehat meniscayakan ruang bagi perbedaan pendapat dan ekspresi protes. Penahanan bisa menciptakan efek jera yang membungkam kebebasan sipil, padahal fungsi mahasiswa adalah sebagai penyambung suara rakyat,” ujarnya.
Titik Uji Demokrasi
Peristiwa ini bukan sekadar soal hukum pidana, tetapi menjadi cermin bagaimana negara memperlakukan kebebasan sipil dalam praktik. Dengan sejarah panjang mahasiswa Trisakti dalam perjuangan reformasi, tindakan aparat terhadap mereka mengandung makna simbolik yang tidak kecil.
Apakah negara akan memilih pendekatan yang lebih humanis dan dialogis, atau justru memperkuat kesan bahwa ruang kritik makin sempit, menjadi pertanyaan besar di benak publik saat ini.
Bagi sebagian kalangan, ini adalah ujian sejauh mana demokrasi Indonesia masih setia pada cita-cita reformasi yang diperjuangkan dengan darah dan air mata lebih dari dua dekade silam.