Mediterania Timur, 25 Juli 2025 – Ketegangan di perairan internasional kembali memuncak setelah pasukan militer Israel melakukan penyergapan terhadap kapal bantuan kemanusiaan yang tergabung dalam misi Freedom Flotilla menuju Jalur Gaza. Aksi yang terjadi pada Rabu malam waktu setempat itu menuai kecaman keras dari komunitas internasional, termasuk kelompok HAM dan beberapa negara Eropa.
Kapal utama dalam armada tersebut, Handala, yang membawa lebih dari 1.000 ton bantuan medis dan logistik darurat, dilaporkan dicegat oleh pasukan khusus Israel sekitar 70 mil laut dari pantai Gaza. Menurut laporan dari awak kapal yang berhasil dihubungi sebelum sinyal komunikasi diputus, militer Israel mendekat menggunakan kapal cepat dan helikopter sebelum melakukan serangan mendadak.
“Tidak Ada Perlawanan, Namun Mereka Tetap Menyerbu”
Aktivis asal Swedia, Johan Lindquist, salah satu penumpang Handala, sempat mengirimkan pesan suara terakhir sebelum komunikasinya terputus.
“Kami tidak bersenjata. Kami hanya membawa obat-obatan, makanan, dan air bersih. Mereka tahu itu. Tapi mereka tetap naik kapal, mengacungkan senjata, dan menahan semua orang seolah kami penjahat,” katanya.
Belum ada konfirmasi resmi dari otoritas Israel soal kronologi penyergapan, namun juru bicara militer mengatakan bahwa kapal tersebut “melanggar blokade maritim yang diberlakukan demi alasan keamanan nasional.”
Sejarah Berulang: Bayangan Mavi Marmara
Peristiwa ini mengingatkan pada insiden tahun 2010, saat kapal Turki Mavi Marmara—juga bagian dari Freedom Flotilla—diserbu oleh pasukan komando Israel. Insiden itu menewaskan sembilan aktivis sipil dan memicu ketegangan diplomatik besar antara Israel dan Turki. Kini, sejarah seolah berulang, hanya saja dalam konteks perang yang semakin mengiris Gaza sejak operasi militer besar-besaran dimulai pada Oktober 2023.
Dalam kasus terbaru ini, tidak ada laporan korban jiwa, namun seluruh awak dan aktivis dari berbagai negara—termasuk Kanada, Malaysia, Afrika Selatan, dan Spanyol—dikabarkan ditahan dan dibawa ke pelabuhan Ashdod.
Kecaman Internasional
PBB melalui juru bicara Sekretaris Jenderal menyatakan keprihatinan mendalam atas insiden tersebut dan menekankan pentingnya akses tanpa hambatan bagi bantuan kemanusiaan ke Gaza. Sementara itu, pemerintah Norwegia dan Irlandia memanggil duta besar Israel untuk memberikan penjelasan resmi.
“Tindakan Israel adalah pelanggaran terhadap hukum laut internasional dan prinsip dasar kemanusiaan,” ujar Prof. Amal Badran, pakar hukum internasional dari Universitas Kairo.
Amnesty International dan Human Rights Watch juga mengutuk pembajakan tersebut, menyebutnya sebagai bagian dari “kriminalisasi sistematis terhadap solidaritas sipil internasional.”
Gaza: Blokade dan Penderitaan
Sejak lebih dari 15 tahun terakhir, Jalur Gaza berada dalam cengkeraman blokade darat, laut, dan udara oleh Israel dengan dalih keamanan dari kelompok Hamas. Namun, blokade tersebut telah mengubah Gaza menjadi penjara terbuka, dengan mayoritas penduduk hidup dalam kondisi sangat memprihatinkan. PBB memperkirakan bahwa lebih dari 80% penduduk Gaza bergantung pada bantuan kemanusiaan.
Misi Freedom Flotilla 2025 ini digagas sebagai bentuk perlawanan damai terhadap blokade tersebut. Kapal-kapal membawa bantuan yang telah dikumpulkan dari donatur di lebih dari 20 negara, disertai permintaan untuk membuka jalur kemanusiaan permanen menuju Gaza.
Ketegangan yang Belum Usai
Belum jelas bagaimana Israel akan memperlakukan para penumpang kapal. Sementara itu, para keluarga dan organisasi pendukung mereka menuntut pembebasan segera dan transparansi dari pemerintah Israel.
“Kami tidak akan diam. Setiap detik penahanan adalah cermin dari ketakutan Israel terhadap kebenaran dan solidaritas,” tegas Mazen Al-Shami, koordinator kampanye Freedom Flotilla dari Beirut.
Dengan meningkatnya perhatian global, terutama dari kelompok sipil, akademisi, dan parlemen-parlemen Eropa, pembajakan kapal bantuan ini bisa menjadi titik balik dalam tekanan diplomatik terhadap kebijakan blokade Israel atas Gaza. Namun satu hal pasti—bagi rakyat Gaza, harapan atas bantuan kembali tertahan di tengah gelombang kekuasaan dan senjata.