Jakarta, 21 Mei 2025 — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kembali menjadi sorotan usai menetapkan asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat di kisaran Rp16.900 untuk tahun anggaran 2026. Angka ini tercantum dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026 yang disampaikan kepada DPR awal pekan ini.
Proyeksi tersebut langsung menuai beragam respons dari pelaku pasar, ekonom, hingga kalangan legislatif. Pasalnya, nilai tukar yang lebih lemah dari proyeksi tahun-tahun sebelumnya itu mengindikasikan kehati-hatian pemerintah menghadapi ketidakpastian global yang masih tinggi, terutama terkait arah suku bunga The Fed dan ketegangan geopolitik yang terus memanas.
Bukan Pelemahan, Tapi Kesiapan
Dalam paparannya, Sri Mulyani menegaskan bahwa proyeksi tersebut bukan cerminan pelemahan ekonomi domestik, melainkan bentuk antisipasi realistis terhadap tekanan eksternal. “Kami memilih untuk bersikap prudent. Ini bukan soal optimisme atau pesimisme, tetapi soal membangun anggaran yang tangguh terhadap kemungkinan terburuk,” ujarnya dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR.
Ia menambahkan, tekanan terhadap rupiah selama 2024–2025 dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti ketidakpastian arah kebijakan suku bunga AS, harga komoditas global, dan arus keluar modal asing dari negara berkembang. “Kita tidak bisa mengandalkan asumsi kurs terlalu optimis sementara dunia sedang bergerak dalam lanskap ekonomi yang sangat dinamis,” kata Sri Mulyani.
Respons Pasar dan Pengamat
Sejumlah analis pasar menilai asumsi nilai tukar Rp16.900 cukup konservatif, namun masuk akal. Direktur Riset dan Investasi Samuel Sekuritas, Lana Sulistyaningsih, mengatakan bahwa nilai tukar rupiah saat ini memang menghadapi tekanan dari penguatan dolar AS akibat tingginya imbal hasil obligasi di Negeri Paman Sam.
“Dengan mempertimbangkan tren suku bunga global dan capital outflow yang masih terjadi, asumsi Rp16.900 cukup logis. Bahkan bisa dibilang pemerintah memberi ruang cadangan fiskal jika rupiah bisa lebih kuat nantinya,” ujarnya.
Namun demikian, sejumlah ekonom memperingatkan agar pelemahan rupiah tidak dibiarkan menjadi tren permanen. Penguatan dolar yang terlalu lama bisa berdampak negatif pada biaya impor, inflasi, dan tekanan terhadap neraca pembayaran.
Implikasi ke Fiskal dan APBN
Asumsi nilai tukar adalah salah satu pilar penting dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kurs rupiah akan mempengaruhi proyeksi penerimaan pajak dari sektor perdagangan internasional, subsidi energi, dan belanja pemerintah lainnya.
Dengan asumsi nilai tukar yang lebih tinggi, potensi penerimaan negara dari sektor ekspor bisa meningkat, namun beban subsidi, terutama untuk energi impor seperti BBM dan LPG, juga akan mengalami penyesuaian.
“Kuncinya adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara menjaga daya beli masyarakat dan keberlanjutan fiskal,” ujar Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS). Ia mengingatkan bahwa dalam kondisi rupiah melemah, kelompok berpendapatan rendah paling rentan terkena dampaknya.
Momentum Reformasi Ekonomi
Meski situasi global tidak bisa dikendalikan, sejumlah pihak menilai bahwa pemerintah memiliki ruang untuk memperkuat fundamental domestik agar rupiah tidak mudah tertekan. Salah satu yang didorong adalah reformasi struktural, terutama dalam bidang hilirisasi industri, penguatan ekspor bernilai tambah, serta peningkatan produktivitas sektor riil.
Sri Mulyani sendiri menekankan pentingnya konsistensi dalam menjaga stabilitas makro dan iklim investasi. “Kami ingin APBN menjadi instrumen yang adaptif namun tetap kredibel. Nilai tukar bukan tujuan, tapi cermin dari persepsi pasar terhadap kekuatan ekonomi kita,” tutupnya.