Seruan perlawanan mulai menggema dari jalanan hingga ke ruang-ruang serikat. Ribuan sopir angkutan dan buruh sektor informal bersatu menyuarakan ketidakadilan yang selama ini membelenggu. Mereka menuntut satu hal mendasar: hadirnya Undang-Undang yang secara nyata melindungi kelompok pekerja rentan dari eksploitasi dan ketidakpastian nasib.
Ancaman mogok nasional digaungkan oleh berbagai aliansi sopir dan konfederasi buruh sebagai bentuk ultimatum kepada pemerintah dan DPR RI yang dinilai lamban merespons kebutuhan riil para pekerja di lapangan. Desakan ini semakin kuat setelah draft RUU Perlindungan Pekerja Rentan yang sempat dibahas pada awal 2024, kini kembali tenggelam tanpa kejelasan.
Jeritan dari Jalanan
Junaedi (42), sopir truk logistik asal Karawang, menceritakan bagaimana tidak adanya perlindungan hukum membuat posisinya selalu di ujung tanduk. “Kalau saya sakit atau kecelakaan, perusahaan lepas tangan. Tidak ada jaminan apa pun. Tapi kami yang dipaksa kejar target, bahkan tidur pun sering di kabin,” keluhnya.
Situasi serupa dialami para buruh bongkar muat, kurir freelance, hingga ojek online yang tergolong sebagai pekerja informal. Mereka tak memiliki kepastian upah, tidak dilindungi BPJS Ketenagakerjaan, dan rawan diberhentikan sepihak tanpa pesangon.
Menurut data dari Jaringan Advokasi Pekerja Indonesia (JAPI), lebih dari 60 persen pekerja di Indonesia masuk kategori pekerja rentan — bekerja tanpa kontrak tetap, tanpa jaminan sosial, dan tanpa payung hukum yang melindungi hak dasarnya.
Serikat Siapkan Aksi Besar
Ketua Konfederasi Buruh Jalanan dan Logistik Nasional (KBJLN), Rahmat Sembiring, menyebut bahwa rencana mogok nasional sudah dalam tahap finalisasi. “Kami beri waktu hingga akhir bulan ini. Bila tidak ada komitmen nyata dari pemerintah dan DPR untuk membahas kembali RUU Perlindungan Pekerja Rentan, maka kami akan lakukan mogok nasional serentak. Ini bukan ancaman, ini tuntutan keadilan,” tegasnya dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (10/7).
Aksi ini juga mendapat dukungan dari berbagai elemen masyarakat sipil, termasuk akademisi dan LSM ketenagakerjaan. Mereka menilai negara terlalu lama abai terhadap kelompok pekerja yang justru menjadi tulang punggung ekonomi nasional.
Pemerintah Masih Diam
Hingga artikel ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari Kementerian Ketenagakerjaan maupun Komisi IX DPR RI terkait respons atas ancaman mogok nasional ini. Pemerintah sebelumnya berdalih bahwa pembahasan UU perlindungan ini masih memerlukan kajian mendalam dan harmonisasi antar-lembaga.
Namun bagi para buruh, alasan tersebut tak lagi dapat diterima. “Setiap tahun kajian, tapi tidak ada hasil. Sementara korban terus berjatuhan — sopir meninggal karena kelelahan, buruh dipecat tanpa sebab, kurir disiksa target tanpa jaminan,” ungkap Wiwin Ardiansyah, aktivis ketenagakerjaan dari Koalisi Pekerja Marjinal.
Harapan yang Menyala
Di tengah situasi pelik ini, harapan tetap tumbuh dari semangat solidaritas lintas sektor. Para pekerja jalanan, yang selama ini tersebar dan tercerai-berai, kini mulai menemukan suara kolektif. “Kami tidak takut lagi. Lebih baik kehilangan upah sehari untuk aksi, daripada terus diam dan hilang perlahan-lahan,” tutur Yani, pengemudi ojek daring yang aktif dalam pergerakan.
Desakan terhadap pemerintah untuk segera mengesahkan UU Perlindungan Pekerja Rentan bukan sekadar tuntutan ekonomi. Ini adalah panggilan moral untuk menegakkan martabat kerja yang adil dan manusiawi. Karena sekuat apa pun fondasi negara, ia tidak akan kokoh jika dibangun di atas ketidakadilan bagi mereka yang menopangnya dari bawah.