Islamabad – Langit Asia Selatan kembali menghangat—bukan oleh pertempuran udara, tapi oleh perang simbol dan gengsi antara dua rival klasik: Pakistan dan India. Dalam pernyataan yang belakangan menuai perhatian luas, Pakistan menyebut kehadiran jet tempur J-10C buatan China sebagai “game-changer” yang telah menjungkirbalikkan keseimbangan udara dan sekaligus menjatuhkan gengsi militer India yang selama ini bertumpu pada armada jet Rafale asal Prancis.
Dalam sebuah wawancara resmi, Menteri Pertahanan Pakistan, Khawaja Asif, menyebut J-10C sebagai “penguat otot strategis” Pakistan. Bagi Islamabad, pengadaan jet ini bukan sekadar pengganti inventaris tua, tapi sebuah pesan politik yang dibungkus dalam teknologi: kami tidak tertinggal.
Jet Tempur Bukan Sekadar Senjata, Tapi Simbol
Militer Pakistan dikenal berhati-hati dalam mengumumkan keberhasilan akuisisi persenjataan. Namun berbeda kali ini. Sejak kedatangan gelombang pertama J-10C pada awal 2022, angkatan udara Pakistan langsung menggelar demonstrasi udara terbuka—disiarkan televisi nasional, dihadiri petinggi negara, dan secara tersirat ditujukan untuk penonton utama: India.
Bukan tanpa alasan. Sejak India menerima 36 unit jet tempur Rafale dari Prancis pada 2020, narasi dominasi udara selalu condong ke arah New Delhi. Rafale dipuji sebagai pesawat tempur generasi 4.5 dengan avionik mutakhir, sistem radar aktif AESA, serta kemampuan serangan jarak jauh yang disebut ‘tak tertandingi’ di kawasan.
Namun J-10C hadir sebagai antitesis dari hegemoni Rafale itu. Dikenal sebagai Vigorous Dragon, jet tempur ini dikembangkan oleh Chengdu Aerospace Corporation dan dirancang untuk menyaingi jet Barat di medan udara modern. Pakistan tak hanya membeli platformnya, tetapi juga membawa seluruh paket: rudal PL-15 yang memiliki jangkauan hingga 200 km, radar AESA generasi terbaru, serta sistem peperangan elektronik berbasis AI.
“Jika Rafale adalah simbol kekuatan Barat di Asia Selatan, maka J-10C adalah jawaban Timur yang tak bisa diremehkan,” ujar Dr. Farhat Shabbir, analis pertahanan senior di Islamabad Policy Institute. “Dan yang paling penting: ia datang dari sekutu kami yang paling konsisten—China.”
China Tak Sembunyi Lagi
Bagi China, penjualan J-10C ke Pakistan lebih dari sekadar ekspor senjata. Ini adalah ekspansi pengaruh strategis di halaman belakang India. Beijing selama ini menjaga retorika damai di Asia Selatan, namun dukungan militer terbuka terhadap Pakistan menandai babak baru dalam dinamika regional: soft power digantikan oleh hard presence.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, dalam konferensi pers, bahkan menyambut baik pujian Pakistan terhadap J-10C. “Kami bangga dapat berkontribusi pada keamanan regional melalui kerja sama pertahanan dengan mitra strategis kami, Pakistan,” ujarnya. Pernyataan yang dingin namun sarat makna.
India: Bungkam, Tapi Waspada
India belum secara resmi menanggapi euforia Pakistan atas kedatangan J-10C. Namun media dan pakar pertahanan di New Delhi tak tinggal diam. Beberapa menyebut langkah Pakistan sebagai “show of optics” semata, mengingat angkatan udara India tetap unggul dalam jumlah dan teknologi secara keseluruhan.
Namun suara-suara yang lebih jujur menyuarakan kekhawatiran. “PL-15 yang dipasang di J-10C punya jangkauan yang secara teoritis melebihi Meteor di Rafale. Ini berarti, jika terjadi konfrontasi, pilot India bisa ditembak dari luar jangkauan serangnya sendiri,” ujar Air Vice Marshal (Purn) Arjun Subramaniam dalam diskusi tertutup di Bengaluru.
Masalah lainnya adalah persepsi internasional. Dengan China menunjukkan kemampuannya memproduksi jet tandingan Rafale yang berhasil diterima sekutu setia seperti Pakistan, pasar ekspor militer global pun mulai melirik alternatif dari Timur. Dan India, yang selama ini menempatkan diri sebagai kekuatan utama kawasan, mulai terlihat kurang dominan.
Pertarungan Tak Lagi di Medan, Tapi di Imajinasi
Perang terbuka antara India dan Pakistan, dengan segala resiko nuklirnya, mungkin tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Namun pertarungan lain sudah berlangsung—di bidang persepsi, propaganda, dan pencitraan kekuatan. Di sinilah J-10C memainkan peran kunci bagi Pakistan.
“Ini bukan soal menang atau kalah dalam dogfight. Ini soal siapa yang dipercaya publik sebagai yang lebih unggul. Dan Pakistan—untuk pertama kalinya dalam satu dekade terakhir—punya sesuatu untuk dibanggakan secara global,” ungkap jurnalis militer senior asal Lahore, Nadir Rehman.
Jet tempur, akhirnya, bukan sekadar pesawat yang membawa rudal, tetapi juga membawa narasi, kebanggaan, dan harga diri nasional. Dalam hal itu, Pakistan tampaknya telah menemukan senjata strategisnya: bukan hanya dari China, tapi juga dari cara baru memaknai kekuatan.