Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mencatatkan langkah monumental dalam sejarah pendidikan Indonesia. Dalam putusannya yang dibacakan pekan ini, MK menegaskan bahwa satuan pendidikan dasar, termasuk yang diselenggarakan oleh pihak swasta, tidak boleh memungut biaya dari peserta didik. Putusan ini sontak mengguncang ekosistem pendidikan nasional dan menimbulkan gelombang reaksi dari berbagai kalangan.
Putusan tersebut berakar dari pengujian terhadap Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), yang sebelumnya membuka ruang bagi lembaga pendidikan dasar swasta untuk membebankan biaya pendidikan kepada siswa. MK menyatakan bahwa hal ini bertentangan dengan Pasal 31 UUD 1945 yang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan dasar secara gratis dan layak.
Pendidikan Dasar adalah Hak, Bukan Komoditas
Dalam pertimbangannya, MK menegaskan bahwa pendidikan dasar adalah hak konstitusional yang tidak boleh dikomersialisasikan. Negara memiliki kewajiban untuk menjamin pemenuhan hak tersebut, tanpa diskriminasi antara lembaga negeri dan swasta.
“Tidak dapat dibenarkan jika penyelenggaraan pendidikan dasar swasta menjadi alasan untuk membebani peserta didik dengan biaya,” ujar Ketua MK dalam sidang pembacaan putusan. “Negara harus hadir dalam menjamin akses pendidikan dasar yang setara bagi seluruh rakyat, tanpa kecuali.”
Putusan ini secara langsung menegaskan bahwa seluruh satuan pendidikan dasar — baik negeri maupun swasta — berada dalam lingkup tanggung jawab negara dalam menjamin pendidikan dasar gratis.
Dampak bagi Sekolah Swasta
Reaksi dari pengelola sekolah swasta pun beragam. Banyak yang menyambut baik semangat pemerataan pendidikan, namun juga menyuarakan kekhawatiran mengenai implikasi pendanaan dan keberlangsungan operasional lembaga swasta yang selama ini bertumpu pada iuran peserta didik.
“Kalau kami tidak diperbolehkan menarik biaya, lalu bagaimana dengan gaji guru, operasional sekolah, dan perawatan infrastruktur?” tanya Ratih Suryani, Kepala Sekolah swasta di Depok. “Selama ini kami tidak menerima subsidi dari negara secara reguler.”
Namun, sejumlah pakar pendidikan justru melihat ini sebagai momentum untuk merombak pola subsidi dan tata kelola pendidikan nasional. Menurut mereka, negara harus segera menyusun skema pendanaan baru yang mengakomodasi lembaga swasta yang menyelenggarakan pendidikan dasar.
“Negara tidak bisa hanya mengatur tanpa memberikan solusi. Harus ada sistem pendanaan inklusif bagi sekolah swasta yang telah membantu meringankan beban pemerintah,” kata Dr. Agus Setiawan, dosen kebijakan pendidikan di Universitas Negeri Jakarta.
Pemerintah Harus Bergerak Cepat
Pasca putusan MK, bola kini berada di tangan pemerintah. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bersama Kementerian Keuangan diharapkan segera merumuskan kebijakan transisional dan mekanisme pembiayaan bagi sekolah dasar swasta.
Banyak pihak mendesak agar tidak terjadi kebingungan di lapangan yang dapat mengganggu kegiatan belajar-mengajar. “Kita jangan sampai terjebak dalam semangat putusan, tetapi gagal dalam implementasi,” ujar Anies Rachman, pengamat pendidikan.
Para orang tua murid dari kalangan menengah ke bawah menyambut putusan ini dengan penuh harapan. “Akhirnya ada keadilan. Selama ini kami menyekolahkan anak di swasta karena negeri penuh, tapi tetap harus bayar mahal,” kata Linda, ibu dua anak dari Bekasi.
Pendidikan untuk Semua
Putusan MK ini mengingatkan bahwa pendidikan dasar adalah tanggung jawab negara, bukan bisnis. Ia juga menjadi peringatan bahwa sistem pendidikan nasional tidak boleh menciptakan kesenjangan struktural antara mereka yang mampu dan tidak mampu.
Dalam semangat konstitusi, pendidikan adalah jembatan bagi keadilan sosial. Jika negara serius menjalankan amanat putusan ini, maka kita mungkin akan melihat lahirnya generasi yang tidak lagi dibatasi oleh kemampuan membayar, tetapi oleh semangat belajar dan potensi diri.