Presiden Kolombia Gustavo Petro menuduh Amerika Serikat (AS) melanggar kedaulatan negaranya dan melakukan pembunuhan terhadap seorang nelayan Kolombia, Alejandro Carranza, dalam serangan militer yang terjadi di Laut Karibia. Petro menyatakan bahwa Carranza, seorang nelayan seumur hidup, tidak memiliki hubungan dengan penyelundupan narkoba dan sedang memancing saat kapal perangnya dihantam rudal AS pada 16 September 2025. Menurut Petro, kapal tersebut mengalami kerusakan mesin dan mengirimkan sinyal darurat sebelum diserang
Serangan ini merupakan bagian dari operasi militer AS yang dimulai pada 2 September 2025, yang menargetkan kapal-kapal yang diduga terlibat dalam penyelundupan narkoba di perairan Karibia. Menurut Presiden AS Donald Trump, serangan tersebut merupakan bagian dari upaya berkelanjutan untuk memberantas kartel narkoba di Amerika Latin yang terkait dengan Presiden Venezuela Nicolás Maduro. Namun, hingga saat ini, belum ada bukti yang menunjukkan bahwa kapal yang diserang membawa fentanil atau bahwa para tersangka terkait dengan terorisme The Washington Post.
Petro mengecam keras tindakan AS tersebut, menyebutnya sebagai pembunuhan dan pelanggaran terhadap kedaulatan Kolombia di perairan teritorialnya. Ia juga mendesak agar Trump diinvestigasi secara pidana atas serangan tersebut Omni. Pernyataan Petro ini memicu ketegangan diplomatik antara kedua negara, dengan AS menuntut agar Petro mencabut pernyataannya, meskipun pejabat AS yang tidak disebutkan namanya mengonfirmasi bahwa warga Kolombia memang berada di salah satu kapal yang dihancurkan The Guardian.
Insiden ini menambah daftar panjang serangan militer AS di Karibia sejak awal September, yang telah menewaskan sedikitnya 27 orang. Serangan-serangan ini menimbulkan pertanyaan mengenai dasar hukum dan keabsahan operasi militer AS di luar wilayahnya, serta dampaknya terhadap hubungan internasional dan stabilitas kawasan Omni.
Sementara itu, pemerintah Kolombia berencana untuk membawa kasus ini ke forum internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk menuntut pertanggungjawaban AS atas tindakan yang dianggapnya sebagai pelanggaran hukum internasional dan hak asasi manusia. Petro juga menyerukan solidaritas dari negara-negara Amerika Latin untuk menanggapi agresi tersebut dan memperkuat kedaulatan regional.
Ketegangan ini menyoroti kompleksitas hubungan antara AS dan negara-negara Amerika Latin, terutama terkait dengan kebijakan luar negeri AS yang sering dianggap sebagai campur tangan dalam urusan domestik negara-negara berdaulat di kawasan tersebut.