Brussels, 22 Mei 2025 – Parlemen Uni Eropa secara tegas menolak rencana pembangunan bendungan oleh Tiongkok di wilayah Tibet, yang dikenal sebagai “Atap Dunia”. Keputusan ini mencerminkan kekhawatiran mendalam terhadap dampak lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia yang mungkin timbul akibat proyek tersebut.
Proyek Bendungan di Tibet dan Dampaknya
Tiongkok telah mengumumkan rencana pembangunan bendungan besar di Sungai Yarlung Tsangpo, yang mengalir dari Tibet ke India dan Bangladesh. Proyek ini bertujuan untuk menjadi pembangkit listrik tenaga air terbesar di dunia, melampaui Bendungan Tiga Ngarai. Namun, pembangunan ini menimbulkan kekhawatiran serius, termasuk:
- Dampak Lingkungan: Potensi kerusakan ekosistem, risiko longsor, dan gangguan pada aliran air yang dapat mempengaruhi pertanian dan kehidupan masyarakat di hilir.
- Pelanggaran Hak Asasi Manusia: Pemindahan paksa komunitas lokal, termasuk penghancuran situs budaya dan religius Tibet.
- Ketegangan Geopolitik: Kekhawatiran dari negara-negara tetangga seperti India dan Bangladesh mengenai akses dan kontrol atas sumber daya air bersama.
Sikap Parlemen Uni Eropa
Dalam resolusi yang diadopsi pada awal Mei 2025, Parlemen Uni Eropa menyatakan penolakan terhadap proyek bendungan tersebut. Resolusi ini menyoroti:
- Pelanggaran terhadap Hak Budaya dan Religius: Penghancuran biara-biara Tibet dan pemindahan paksa penduduk dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak budaya dan kebebasan beragama masyarakat Tibet.
- Kekhawatiran Lingkungan: Proyek ini dianggap sebagai sabotase lingkungan yang dapat menyebabkan kerusakan ekosistem yang tidak dapat diperbaiki.
- Seruan untuk Tindakan Internasional: Parlemen mendesak negara-negara anggota Uni Eropa dan komunitas internasional untuk mengambil langkah-langkah diplomatik guna menanggapi proyek ini dan mendukung hak-hak masyarakat Tibet.
Reaksi Internasional
Organisasi dan aliansi internasional, seperti Inter-Parliamentary Alliance on China (IPAC), juga menyuarakan keprihatinan mereka. IPAC menekankan bahwa proyek bendungan ini merupakan pelanggaran terhadap hak budaya masyarakat Tibet dan menunjukkan sejauh mana Tiongkok bersedia mengeksploitasi wilayah tersebut untuk keuntungan ekonomi