Jakarta – Langkah politik Presiden Joko Widodo menjelang akhir masa jabatannya terus menjadi sorotan. Terbaru, sejumlah pengamat menyebut Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai “labuhan terakhir” Jokowi dalam peta perpolitikan nasional. Namun di balik itu, analisis yang lebih dalam mengungkap bahwa mantan Wali Kota Solo itu belum sepenuhnya berhenti bermanuver. Ada sinyal kuat bahwa tokoh-tokoh besar dari partai lain tengah dibidik untuk mengisi formasi baru kekuatan politik pasca-2024.
Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio, mengatakan bahwa keterlibatan Jokowi dalam dinamika PSI bukan sekadar simbolik. Menurutnya, Jokowi melihat PSI sebagai kendaraan politik alternatif yang bisa dijadikan basis pengaruh setelah dirinya tak lagi memimpin dari Istana.
“PSI bukan hanya partai kecil yang butuh tokoh besar. Ia juga menjadi wadah potensial bagi Jokowi untuk tetap memiliki tempat dalam kontestasi politik nasional, meski secara tidak langsung,” ujar Hendri dalam diskusi publik di Jakarta, Minggu (19/5).
PSI dan Dinamika Politik Pascakepemimpinan Jokowi
Dalam beberapa bulan terakhir, hubungan antara Jokowi dan PSI memang terlihat semakin erat. Anak bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, didapuk sebagai Ketua Umum PSI dalam waktu yang relatif singkat setelah masuk partai. Gerak cepat ini dinilai banyak pihak sebagai sinyal kuat Jokowi tengah merancang basis kekuatan baru — bukan sebagai king, tapi sebagai kingmaker.
Namun, Hendri mengingatkan bahwa kekuatan politik sejati tak cukup dibangun hanya dari loyalitas keluarga. “Jika PSI ingin menjadi rumah baru bagi Jokowi, maka ia harus diisi oleh tokoh-tokoh politik yang punya bobot elektoral dan jaringan kuat. Dan itu, mau tak mau, datang dari partai-partai besar,” tegasnya.
Tarik-Menarik Tokoh Besar: Siapa yang Ditaksir Jokowi?
Spekulasi pun bermunculan mengenai siapa saja tokoh partai besar yang mungkin akan digaet masuk ke orbit PSI atau ke dalam poros politik baru yang tengah disusun Jokowi. Beberapa nama mantan menteri, eks kepala daerah, hingga kader-kader senior partai yang tidak lagi mendapat tempat strategis disebut-sebut menjadi incaran.
“Jokowi bukan pemain yang mudah ditebak, tapi bisa dilacak jejaknya. Ia biasanya memilih tokoh yang tidak hanya populer, tapi juga pragmatis dan punya rekam jejak bekerja dengannya,” kata Yunarto Wijaya, Direktur Eksekutif Charta Politika.
Menurut Yunarto, salah satu strategi Jokowi adalah membangun struktur kekuasaan yang bersifat jangka panjang, dengan menempatkan loyalisnya di titik-titik krusial, baik di legislatif maupun partai politik.
Antara Legacy dan Ambisi Politik
Keterlibatan Jokowi dalam PSI memunculkan perdebatan baru soal batas antara legacy dan ambisi politik pribadi. Di satu sisi, publik melihatnya sebagai upaya menjaga kesinambungan arah pembangunan nasional. Di sisi lain, tidak sedikit yang menilai ini sebagai strategi untuk tetap mengendalikan lanskap politik dari balik layar.
Peneliti LIPI, Siti Zuhro, menilai kecenderungan ini sebagai hal yang wajar dalam politik Indonesia yang belum sepenuhnya institusional. “Transisi kekuasaan kita tidak pernah sepenuhnya tuntas. Yang keluar dari kekuasaan ingin tetap punya pengaruh. Dan yang masuk, sering kali masih perlu ‘restu’ dari tokoh sebelumnya,” ujarnya.
Membaca Peta Menuju 2029
Meski masa jabatan Jokowi akan berakhir pada Oktober 2024, manuver-manuver politiknya menunjukkan bahwa ia tidak berniat sepenuhnya “pensiun.” Dengan PSI sebagai kendaraan baru, serta potensi masuknya tokoh-tokoh besar dari partai lain, Jokowi tampaknya tengah membangun sebuah struktur yang siap berlaga dalam Pilpres 2029 — entah sebagai pengendali utama atau penentu poros koalisi.
Dalam politik, tak ada istilah “masa lalu”. Dan bagi Jokowi, panggung kekuasaan tak harus berada di atas mimbar Istana. Selama ia masih memiliki pengaruh, ia masih memiliki permainan.