Kairo – Pemerintah Mesir dilaporkan menghentikan sementara pemberian visa kunjungan bagi warga Gaza. Kebijakan ini menambah panjang daftar kesulitan yang harus dihadapi masyarakat sipil di wilayah yang sudah porak-poranda akibat konflik berkepanjangan.
Kebijakan yang Mengejutkan
Sejak lama, Rafah menjadi satu-satunya gerbang vital bagi warga Gaza untuk keluar masuk, baik untuk urusan kesehatan, pendidikan, maupun sekadar mencari perlindungan sementara di luar daerah konflik. Namun, keputusan baru otoritas Mesir untuk tidak lagi mengeluarkan visa kunjungan membuat jalan itu semakin sempit.
Seorang diplomat regional yang enggan disebutkan namanya menyebut langkah ini sebagai “keputusan politik yang berimplikasi kemanusiaan serius”. Ia menambahkan bahwa kebijakan tersebut bisa memperburuk penderitaan ribuan keluarga yang sudah kehilangan tempat tinggal dan akses layanan dasar.
Dampak bagi Pasien dan Mahasiswa Gaza
Kebijakan penghentian visa otomatis memukul warga Gaza yang sedang berjuang mendapatkan perawatan medis di luar negeri. Banyak rumah sakit di Gaza sudah tidak mampu beroperasi akibat serangan, kekurangan obat-obatan, dan keterbatasan tenaga medis. Mesir sebelumnya menjadi rujukan utama bagi pasien kritis, terutama di rumah sakit El-Arish dan Kairo.
Selain itu, ratusan mahasiswa Gaza yang tengah menunggu izin keluar untuk melanjutkan pendidikan juga terancam kehilangan kesempatan. “Saya sudah diterima di universitas di Kairo, tapi sekarang semua pintu tertutup,” ungkap seorang pemuda Gaza melalui sambungan telepon.
Pertimbangan Politik di Balik Kebijakan
Pengamat menilai, Mesir berada dalam posisi sulit. Di satu sisi, Kairo ingin menjaga hubungan diplomatik dengan berbagai pihak, termasuk Israel dan Amerika Serikat, yang terus mendesak pengawasan ketat terhadap pergerakan orang dari Gaza. Di sisi lain, Mesir selama ini juga menjadi mediator utama dalam berbagai gencatan senjata antara Hamas dan Israel.
Namun, penghentian visa ini dianggap sebagai langkah mundur dalam posisi Mesir sebagai “jalur nafas” Gaza. “Jika alasan utamanya adalah keamanan, maka semestinya tetap ada mekanisme selektif, bukan penutupan total,” kata seorang analis Timur Tengah di Kairo.
Seruan Internasional
Sejumlah lembaga kemanusiaan internasional menyerukan agar Mesir mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut. Amnesty International menilai keputusan itu berpotensi melanggar prinsip dasar hak asasi manusia, terutama hak untuk mendapatkan akses kesehatan dan pendidikan.
Sementara itu, PBB menegaskan bahwa setiap upaya pembatasan terhadap warga sipil harus memprioritaskan aspek kemanusiaan. “Rakyat Gaza tidak boleh menjadi korban dua kali: oleh konflik dan oleh penutupan akses,” demikian pernyataan resmi badan dunia itu.