Jakarta, 21 Mei 2025 — Ambisi Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional hingga menembus angka 8 persen dalam periode pemerintahannya menjadi salah satu janji kampanye yang paling berani sekaligus paling dipertanyakan. Dengan realisasi pertumbuhan yang hingga kuartal pertama 2025 masih tertahan di kisaran 5 persen, publik mulai bertanya-tanya: apakah target ini realistis, atau sekadar retorika politik?
Visi pertumbuhan 8 persen bukanlah hal baru dalam lanskap politik Indonesia. Namun sejauh ini, tak ada satu pun pemerintahan pascareformasi yang berhasil mendekati angka tersebut secara konsisten. Terakhir kali Indonesia mencatat pertumbuhan di atas 7 persen adalah pada era awal Orde Baru—sebuah fase yang ditopang oleh booming minyak dan belum dihantui kompleksitas ekonomi global seperti saat ini.
Mesin Ekonomi yang Belum Pulih Sepenuhnya
Salah satu tantangan utama menuju pertumbuhan 8 persen adalah performa mesin ekonomi nasional yang tampak belum pulih sepenuhnya pascapandemi. Konsumsi rumah tangga, yang selama ini menjadi tulang punggung PDB, mulai menunjukkan gejala stagnasi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pertumbuhan konsumsi pada triwulan I 2025 hanya tumbuh 4,8 persen—turun dari kuartal sebelumnya.
“Daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih, apalagi dengan tekanan inflasi dan nilai tukar yang fluktuatif. Kalau konsumsi sebagai motor utama lesu, sulit berharap pada pertumbuhan ekonomi yang agresif,” ujar Faisal Basri, ekonom senior dari Universitas Indonesia.
Investasi swasta pun belum kembali ke jalur optimis. Ketidakpastian regulasi, konflik agraria, hingga tantangan transisi energi turut menahan ekspansi investor, baik domestik maupun asing. Proyek hilirisasi yang digadang-gadang sebagai penggerak ekonomi jangka panjang masih menghadapi masalah struktural, mulai dari infrastruktur pendukung hingga kualitas SDM.
Harapan pada Belanja Negara dan Industrialisasi
Di sisi lain, kubu pemerintahan baru menyandarkan optimisme pada dua hal: ekspansi belanja negara dan percepatan industrialisasi. Dalam pidato-pidato pascakemenangan, Prabowo berulang kali menekankan pentingnya transformasi ekonomi berbasis nilai tambah—mulai dari hilirisasi mineral, kemandirian pangan, hingga industrialisasi pertahanan.
“Kalau belanja APBN diarahkan ke sektor produktif dan disertai reformasi struktural yang serius, 8 persen itu bisa dikejar, bukan dalam satu tahun, tapi mungkin dalam 3–4 tahun masa jabatan,” kata Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa ketergantungan pada belanja pemerintah tanpa peningkatan produktivitas sektor swasta hanya akan menciptakan ilusi pertumbuhan. “Kalau hanya didorong APBN, kita akan kehabisan nafas fiskal sebelum sampai garis finish,” ujarnya.
Hambatan Eksternal dan Ketidakpastian Global
Faktor eksternal juga menjadi penentu utama yang tak bisa diabaikan. Ekonomi global tengah bergerak di bawah awan ketidakpastian: suku bunga tinggi di Amerika Serikat, perlambatan ekonomi China, serta konflik geopolitik yang berpotensi mengganggu rantai pasok dan harga komoditas.
“Indonesia sebagai negara terbuka tidak bisa lepas dari dampak eksternal. Target 8 persen akan sangat sulit dicapai jika ekspor terganggu dan arus investasi asing tidak masuk karena situasi global tak kondusif,” kata Aviliani, ekonom dari INDEF.
Optimisme Realistis atau Sekadar Narasi?
Meski banyak pihak menilai target 8 persen terlalu ambisius, sebagian melihatnya sebagai strategi untuk menanamkan optimisme nasional. Dalam politik ekonomi, narasi bisa menjadi alat mobilisasi. Namun, narasi tanpa eksekusi yang terukur berisiko menjadi kontraproduktif.
“Yang penting bukan hanya angkanya, tapi arah kebijakannya. Kalau reformasi berjalan dan iklim usaha membaik, mungkin kita tidak sampai 8 persen, tapi 6–7 persen yang berkualitas itu jauh lebih baik daripada pertumbuhan tinggi yang rapuh,” tegas Chatib Basri, mantan Menteri Keuangan.
Penutup: Jalan Panjang Menuju 8 Persen
Mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen bukan hal mustahil, tapi juga bukan pekerjaan semalam. Diperlukan strategi terpadu: perbaikan regulasi, peningkatan kualitas pendidikan dan tenaga kerja, infrastruktur yang terarah, serta stabilitas politik dan hukum.
Jika pemerintahan Prabowo mampu membangun kepercayaan pasar, memberdayakan sektor produktif, dan menjadikan rakyat sebagai mitra aktif pembangunan, mungkin—hanya mungkin—angka itu bisa didekati. Tapi jika tidak, janji 8 persen hanya akan menjadi bagian dari sejarah retorika politik Indonesia.