Insiden ini terjadi dalam pemberitaan yang membahas hubungan bilateral Indonesia–Malaysia pasca pelantikan Prabowo sebagai Presiden Republik Indonesia. Dalam artikel yang tayang pada akhir pekan lalu, media tersebut menulis, “Perdana Menteri Anwar Ibrahim dijadualkan bertemu Presiden Joko Widodo di Jakarta dalam masa terdekat untuk membincangkan kerjasama ekonomi dan sempadan maritim.”
Padahal, Jokowi sudah tidak lagi menjabat sejak Oktober lalu — dan posisi kepala negara telah resmi dipegang oleh Prabowo Subianto.
Permintaan Maaf Terbuka
Kesalahan itu langsung menuai perhatian dari warganet Indonesia dan Malaysia. Tak butuh waktu lama, pihak redaksi media tersebut mengeluarkan klarifikasi dan menyampaikan permintaan maaf.
Dalam pernyataan resminya, redaksi menulis:
“Kami memohon maaf atas kekeliruan dalam laporan mengenai hubungan Malaysia–Indonesia. Nama Presiden Indonesia seharusnya ditulis Prabowo Subianto, bukan Joko Widodo. Kesilapan ini tidak disengajakan dan telah diperbetulkan.”
Permintaan maaf itu juga disertai dengan pembaruan berita di situs resmi mereka serta unggahan di akun media sosial.
Respons dari Publik
Meski tampak sederhana, kesalahan ini langsung menjadi bahan pembicaraan hangat di media sosial.
Beberapa pengguna asal Indonesia menanggapinya dengan nada bercanda, menyebut bahwa “bayangan Jokowi masih kuat bahkan di luar negeri.” Ada pula yang menilai hal ini sebagai cermin kurangnya perhatian media asing terhadap transisi politik di Indonesia.
Di sisi lain, sejumlah jurnalis Malaysia menyayangkan kelalaian tersebut. Mereka menilai kesalahan semacam ini seharusnya bisa dihindari mengingat momentum pergantian kepemimpinan di Indonesia merupakan peristiwa besar yang disorot luas di kawasan.
Konteks Hubungan Indonesia–Malaysia
Konteks dari pemberitaan yang menjadi sumber kekeliruan sebenarnya cukup penting. Artikel tersebut menyoroti rencana kunjungan resmi Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim ke Jakarta, yang disebut akan menjadi pertemuan bilateral pertama dengan Presiden Prabowo Subianto sejak pelantikan.
Pertemuan ini disebut akan membahas sejumlah agenda strategis, mulai dari tenaga kerja migran, perbatasan laut, hingga kerja sama perdagangan dan energi.
Karena itu, kekeliruan penyebutan nama presiden dianggap sensitif, bukan hanya dari sisi etika jurnalistik, tetapi juga dari perspektif diplomasi. Dalam tradisi pemberitaan Asia Tenggara, nama dan jabatan pemimpin negara adalah hal yang sangat dijaga ketepatannya.
Refleksi Media dan Pelajaran Etika
Kasus ini menjadi pengingat bahwa di era digital, kesalahan sekecil apa pun dapat menyebar luas dalam hitungan menit. Di Malaysia, Dewan Media bahkan menyoroti pentingnya verifikasi fakta lintas negara, terutama untuk isu yang melibatkan mitra strategis seperti Indonesia.
Bagi sebagian pihak di Indonesia, kejadian ini tidak perlu dibesar-besarkan — tetapi tetap menunjukkan bahwa diplomasi juga berjalan melalui ruang redaksi. Sebuah nama yang salah tulis bisa menimbulkan persepsi keliru, bahkan jika hanya berlangsung beberapa jam sebelum dikoreksi.