Di tengah hiruk-pikuk perjuangan fisik dan diplomatik menjelang dan pasca kemerdekaan Indonesia, nama Kiai Abbas Buntet dari Cirebon mungkin belum setenar para tokoh nasional lainnya. Namun, di balik kesahajaan dan keteguhan sosoknya, tersimpan peran besar dalam sejarah perjuangan bangsa. Kini, setelah sekian dekade, muncul desakan agar ulama karismatik asal Pesantren Buntet, Kabupaten Cirebon ini, diangkat menjadi Pahlawan Nasional.
Ulama yang Mengangkat Senjata
Lahir sekitar tahun 1879, Kiai Abbas adalah putra dari Kiai Muhammad dan cucu dari Kiai Abdul Jamil, pendiri Pesantren Buntet yang sudah berdiri sejak abad ke-18. Dibesarkan dalam tradisi pesantren yang kental, Kiai Abbas dikenal luas bukan hanya karena kedalaman ilmu agamanya, tetapi juga ketegasannya dalam membela tanah air.
Peran Kiai Abbas dalam perjuangan kemerdekaan paling mencolok saat agresi militer Belanda II tahun 1947. Di usia senjanya, ia memimpin ratusan santri dan laskar rakyat dari Cirebon dalam pertempuran di Ambarawa, Jawa Tengah, bergabung bersama para pejuang dari berbagai daerah. Dengan semangat jihad fi sabilillah, Kiai Abbas tidak ragu memimpin langsung perlawanan bersenjata melawan tentara kolonial.
Menurut berbagai sumber, sebelum keberangkatan ke medan tempur, Kiai Abbas menggelar istigasah dan memberikan fatwa bahwa melawan penjajahan adalah bagian dari kewajiban agama. Ia mempersatukan kekuatan santri dan rakyat biasa di bawah satu semangat: membela tanah air adalah bagian dari ibadah.
Jejak yang Mengakar di Masyarakat
Kiai Abbas bukan hanya pejuang bersenjata, tetapi juga penggerak pendidikan dan moral masyarakat. Di bawah kepemimpinannya, Pesantren Buntet menjadi salah satu pusat pendidikan Islam yang tidak hanya menanamkan ilmu agama, tapi juga nilai-nilai kebangsaan. Banyak santri yang kemudian menjadi tokoh penting di daerahnya masing-masing, melanjutkan perjuangan Kiai Abbas dalam bentuk yang lebih damai — melalui dakwah, pendidikan, dan sosial.
Pesantren Buntet hingga kini masih berdiri kokoh dan menjadi salah satu pesantren tertua di Indonesia. Warisan intelektual dan spiritual Kiai Abbas terus hidup dalam keseharian masyarakat, terutama di wilayah Cirebon dan sekitarnya.
Usulan Gelar Pahlawan Nasional
Beberapa tahun terakhir, desakan agar pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Kiai Abbas semakin menguat. Dukungan datang dari berbagai elemen, termasuk keluarga besar pesantren, tokoh masyarakat, sejarawan, hingga pemerintah daerah. Mereka menilai bahwa kontribusi Kiai Abbas dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan karakter bangsa layak mendapat pengakuan di tingkat nasional.
“Kiai Abbas bukan hanya pejuang lokal, ia adalah bagian dari denyut nadi perjuangan nasional,” ujar salah satu tokoh NU Cirebon dalam sebuah seminar sejarah. “Pengakuan terhadap beliau adalah pengakuan terhadap peran kaum santri dalam sejarah Indonesia.”
Berbagai dokumen dan bukti sejarah telah disiapkan untuk melengkapi proses pengusulan, termasuk arsip pertempuran, catatan kesaksian, dan literatur yang membahas peran penting beliau dalam melawan kolonialisme.
Mengingat Kiai Abbas, Mengingat Jati Diri Bangsa
Kisah Kiai Abbas Buntet bukan sekadar nostalgia sejarah. Ia adalah pengingat bahwa perjuangan bangsa ini tidak hanya digerakkan oleh para diplomat dan tentara, tetapi juga oleh para ulama dan santri yang mengabdikan hidupnya untuk kemerdekaan.
Pengusulan gelar Pahlawan Nasional untuk Kiai Abbas adalah bentuk penghormatan kepada nilai-nilai perjuangan yang berakar dari moral, keikhlasan, dan ketulusan — sesuatu yang kini kian langka dalam kehidupan berbangsa.
Kini, bangsa ini tinggal menunggu, apakah negara akan menyambut desakan tersebut dan menempatkan Kiai Abbas di antara deretan tokoh yang telah lebih dulu mendapat gelar Pahlawan Nasional. Apapun hasilnya, nama Kiai Abbas Buntet akan selalu hidup dalam sanubari umat — sebagai ulama, pejuang, dan teladan.