Islamabad, Pakistan – Dalam dunia diplomasi senyap dan unjuk kekuatan militer, terkadang kemenangan tidak perlu ditembakkan peluru—cukup dengan manuver udara di langit yang sarat makna. Itulah yang tengah dirayakan secara diam-diam oleh Pakistan. Negeri itu kini mengklaim bahwa pesawat tempur buatan China, J-10C, telah secara simbolis menjatuhkan “gengsi” tetangganya, India, yang selama ini mengandalkan pesawat tempur Rafale buatan Prancis sebagai lambang superioritas udara.
Pernyataan tersebut bukan sekadar ejekan retoris. Dalam beberapa pekan terakhir, petinggi militer Pakistan secara terbuka memuji performa J-10C dalam latihan udara gabungan dan patroli rutin. Jet tempur itu, yang dilengkapi dengan teknologi radar AESA dan rudal jarak jauh PL-15, disebut-sebut memberikan “keseimbangan strategis” terhadap keunggulan udara India yang selama ini mendominasi kawasan dengan armada Rafale dan Su-30MKI.
Namun, di balik pujian yang tampak diplomatis, ada narasi besar yang sedang dimainkan Pakistan: membentuk persepsi regional bahwa dominasi India di udara kini sudah tidak lagi mutlak.
Antara Langit dan Ego: Perang Gengsi Asia Selatan
India, sejak mengakuisisi Rafale dari Prancis pada 2020, memang mendapatkan keuntungan teknologi signifikan di kawasan. Jet itu digadang sebagai tulang punggung Angkatan Udara India dalam menghadapi dua ancaman utama: Pakistan di barat, dan China di utara.
Namun Pakistan tampaknya bergerak cepat. Melalui kemitraan strategisnya dengan Beijing, Islamabad berhasil mendatangkan setidaknya 25 unit J-10C dalam waktu singkat—lengkap dengan paket pelatihan, logistik, dan senjata canggih. Lebih dari itu, Pakistan menjadikan jet tersebut sebagai simbol dari doktrin “full-spectrum deterrence”, yang mencakup kemampuan konvensional dan nuklir.
“Ini bukan sekadar pembelian pesawat. Ini adalah pernyataan bahwa Pakistan tidak akan tunduk di bawah bayang-bayang udara India,” kata pensiunan Marsekal Muda Angkatan Udara Pakistan, Ahsan Wali Khan, dalam sebuah wawancara dengan Geo News. “J-10C memberi kami daya gempur udara yang presisi dan teknologi mutakhir yang sebanding—bahkan dalam beberapa aspek, melebihi Rafale.”
China, Sang Pemberi Sayap
Bagi China, keberhasilan menjual J-10C ke Pakistan adalah lebih dari sekadar transaksi senjata. Ini adalah bagian dari strategi besar Beijing untuk memperluas pengaruh militernya di Asia Selatan melalui jalur diplomatik dan teknologis. Dalam konteks geopolitik, kehadiran J-10C di Pakistan adalah perpanjangan dari proyeksi kekuatan China, sekaligus sinyal kepada New Delhi bahwa superioritas tidak lagi datang dari barat, tapi dari utara—dan kini, juga dari barat tetangganya sendiri.
Beijing dengan cerdik mengemas ekspor J-10C bukan hanya sebagai penjualan, tapi sebagai kerja sama strategis. Pabrik-pabrik militer di Chengdu tak hanya mengirim pesawat, tetapi juga teknologi pemeliharaan, pelatihan pilot, dan perangkat lunak manajemen pertempuran.
“Pakistan kini menjadi laboratorium terbang J-10C di luar negeri. Setiap latihan dan uji tempur akan menjadi referensi langsung bagi ekspor militer China ke negara lain,” ujar analis pertahanan China, Li Shujin, kepada South China Morning Post.
Reaksi India: Tenang di Permukaan, Cemas di Dalam?
Sementara Islamabad dan Beijing sibuk menyebar narasi keberhasilan J-10C, New Delhi memilih untuk merespons dengan tenang. Dalam konferensi pers singkat, juru bicara Kementerian Pertahanan India hanya mengatakan, “India sepenuhnya percaya pada kemampuan dan kesiapsiagaan angkatan udaranya.” Tak ada penyebutan langsung tentang J-10C.
Namun analis pertahanan independen India, Karan Thapar, menilai bahwa pengadaan J-10C tetap menjadi pukulan psikologis yang signifikan. “India selama ini mengandalkan citra kekuatan udara yang tak tertandingi di kawasan. Sekarang, dengan J-10C, Pakistan telah menyodorkan cermin baru yang membuat New Delhi harus meninjau ulang asumsi strategisnya,” katanya dalam sebuah panel diskusi di NDTV.
Pertarungan Persepsi yang Lebih Tajam dari Rudal
Pertarungan antara India dan Pakistan sudah lama melewati batas konflik fisik. Kini, perang gengsi, pengaruh, dan persepsi menjadi arena yang sama pentingnya. Dalam lanskap geopolitik modern, persepsi bisa menentukan arah aliansi, pengaruh regional, dan bahkan pasar ekspor senjata.
Dengan memposisikan J-10C sebagai simbol ‘kemenangan strategis’ atas Rafale, Pakistan tak hanya mencoba menandingi India secara militer, tetapi juga secara diplomatik—terutama kepada negara-negara Asia Selatan dan Timur Tengah yang tengah mempertimbangkan pembelian jet tempur dari China atau Barat.
Dan di atas semua itu, terselip ironi kecil: bahwa di langit yang sama, dua negara bersaing bukan hanya dengan pesawat, tapi dengan ego, sejarah, dan bayang-bayang masa lalu yang tak pernah benar-benar hilang.