Gaza City – Situasi di Jalur Gaza kembali memanas setelah militer Israel mengumumkan rencana untuk merelokasi sebagian warga dari kawasan yang mereka tetapkan sebagai zona perang. Kebijakan ini memicu kecemasan baru di tengah penduduk yang sejak lama sudah hidup di bawah blokade dan rentetan serangan udara.
Kawasan Padat Jadi Sasaran
Menurut laporan media setempat, wilayah yang akan dikosongkan mencakup beberapa distrik padat penduduk di utara Gaza. Israel berdalih langkah ini diperlukan untuk memperlancar operasi militer darat dan mencegah korban sipil. Namun, bagi warga Gaza, relokasi ini tak lebih dari pengusiran paksa yang menambah penderitaan mereka.
“Rumah saya memang kecil, tapi di sinilah tempat kami bertahan. Kalau harus pindah, kami bahkan tidak tahu harus ke mana,” ujar Abu Khaled, seorang warga yang diwawancarai oleh jurnalis lokal.
Kekhawatiran Krisis Kemanusiaan Baru
Relokasi massal di wilayah sekecil Gaza bukan hanya soal perpindahan tempat tinggal. Dengan infrastruktur yang sudah luluh lantak, air bersih dan listrik yang terbatas, serta rumah sakit yang kewalahan, pemindahan ribuan orang justru berisiko menciptakan krisis kemanusiaan yang lebih parah.
Lembaga kemanusiaan internasional menilai kebijakan ini akan membuat warga Gaza semakin terjebak dalam kondisi “tak ada tempat aman.” “Di satu sisi, Israel menyuruh warga pergi, tetapi di sisi lain, jalur keluar-masuk tetap tertutup. Ini situasi yang tidak masuk akal,” kata seorang pejabat PBB yang enggan disebutkan namanya.
Motif Strategis di Balik Relokasi
Pengamat militer menilai bahwa kebijakan relokasi bukan semata langkah kemanusiaan. Israel ingin memastikan jalur operasinya terbebas dari hambatan sipil, sekaligus mempersempit ruang gerak kelompok perlawanan. Dengan menjadikan suatu area sebagai zona perang, militer dapat lebih leluasa melakukan serangan tanpa khawatir mendapat kecaman internasional terkait korban sipil.
Namun, langkah ini justru menuai kritik tajam. Banyak pihak melihatnya sebagai upaya sistematis untuk menggeser populasi Gaza dari tanah mereka sendiri.
Suara Penolakan dan Ketakutan
Di jalan-jalan Gaza, suasana muram kian terasa. Banyak keluarga mulai mengemas barang seadanya, bersiap jika sewaktu-waktu diperintahkan keluar. Sebagian lainnya menolak meninggalkan rumah mereka, dengan alasan “lebih baik mati di tanah sendiri ketimbang hidup tanpa arah.”
“Setiap kali ada relokasi, selalu ada janji akan kembali. Tapi kami tahu kenyataannya berbeda. Kami tidak ingin jadi pengungsi seumur hidup,” ujar Umm Salim, seorang ibu yang harus menjaga empat anaknya di tengah ketidakpastian.