Jakarta, 21 Mei 2025 — Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan terbarunya mengungkapkan proyeksi yang cukup mencemaskan: tingkat pengangguran Indonesia diperkirakan menjadi yang terbesar kedua di kawasan Asia pada 2025, hanya berada di bawah China. Prediksi ini menjadi sorotan tajam para pengamat ekonomi, menandakan adanya pekerjaan rumah besar bagi pemerintah dalam menjaga ketahanan ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global.
Menurut World Economic Outlook yang dirilis IMF pada awal Mei, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia diperkirakan akan mencapai 5,9% tahun ini. Meski angka tersebut tidak melonjak drastis dari tahun sebelumnya, posisinya dalam peta regional membuat banyak pihak bertanya-tanya: bagaimana negara dengan jumlah penduduk usia produktif yang besar justru tertinggal dalam penyediaan lapangan kerja?
China di Posisi Pertama, Tapi dengan Dinamika Berbeda
Dalam laporan yang sama, China diprediksi memiliki tingkat pengangguran tertinggi di Asia, berada di kisaran 6,5%. Namun, konteks di Negeri Tirai Bambu sangat berbeda. Pengangguran di China banyak didorong oleh gejolak sektor properti, pengetatan regulasi sektor teknologi, serta pelambatan ekonomi pascapandemi yang masih terasa.
Indonesia, di sisi lain, menghadapi tantangan yang lebih struktural: ketimpangan antara pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang inklusif. Meski ekonomi Indonesia menunjukkan tren pertumbuhan positif, nyatanya tidak cukup banyak menyerap tenaga kerja formal baru, terutama bagi lulusan muda.
Masalah Klasik yang Belum Tuntas
Pakar ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Sri Kusnadi, menyebut bahwa persoalan pengangguran di Indonesia telah berlangsung lama namun belum ditangani secara menyeluruh.
“Masalah kita bukan hanya soal ketersediaan pekerjaan, tapi juga kualitas pekerjaan itu sendiri. Banyak yang bekerja, tapi di sektor informal, tanpa perlindungan sosial yang memadai. Ini membuat mereka rentan kembali ke status pengangguran saat terjadi guncangan ekonomi,” ujarnya.
Lebih lanjut, Sri menekankan pentingnya reformasi kebijakan ketenagakerjaan yang tidak hanya fokus pada kuantitas, melainkan kualitas dan keberlanjutan pekerjaan.
Bonus Demografi yang Bisa Menjadi Beban
Ironisnya, Indonesia saat ini berada dalam fase bonus demografi, di mana proporsi penduduk usia produktif sangat tinggi. Dalam teori pembangunan, ini seharusnya menjadi momentum emas untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Namun tanpa penyerapan tenaga kerja yang efektif, bonus ini justru bisa berubah menjadi beban sosial.
“Kalau kita tidak mampu menyediakan cukup lapangan kerja, maka kita akan menghadapi potensi ledakan sosial dari generasi muda yang kecewa,” kata Indra Mahardika, peneliti dari Institute for Development and Labor Studies (IDLS). Menurutnya, tantangan terletak pada konektivitas antara dunia pendidikan dan kebutuhan industri yang masih belum sinkron.
Langkah Pemerintah dan Tantangannya
Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pihaknya terus berupaya menekan angka pengangguran melalui berbagai program pelatihan vokasi, sertifikasi keterampilan, hingga insentif bagi industri padat karya.
Namun, efektivitas program-program tersebut kerap dipertanyakan. Banyak pelatihan dianggap tidak relevan dengan kebutuhan industri saat ini, sementara sektor-sektor potensial seperti ekonomi hijau dan digital belum digarap secara masif sebagai motor penciptaan lapangan kerja baru.
Saatnya Berpikir Ulang: Pekerjaan Masa Depan
Di tengah perubahan lanskap kerja global akibat otomasi, digitalisasi, dan transisi energi, Indonesia membutuhkan peta jalan ketenagakerjaan yang jauh lebih progresif. Fokus tak lagi bisa sekadar pada menambah jumlah pekerjaan, tetapi pada membangun ekosistem yang adaptif dan berkelanjutan.
Laporan IMF ini sejatinya bukan sekadar peringatan, tetapi undangan bagi para pemangku kebijakan untuk membangun ekonomi yang tidak hanya tumbuh, tapi juga mampu menciptakan masa depan kerja yang lebih adil dan inklusif bagi semua warga negara.