Seorang guru madrasah di wilayah Cirebon, Jawa Barat, dijatuhi hukuman denda sebesar Rp25 juta setelah terbukti menampar salah satu muridnya dalam insiden yang sempat memicu perhatian publik dan perdebatan soal batasan disiplin di lingkungan sekolah. Meski orang tua korban akhirnya mencabut laporan, proses hukum tetap berjalan hingga ke putusan pengadilan.
Kejadian ini bermula dari insiden di dalam kelas Madrasah Tsanawiyah (MTs) Al-Hikmah, awal Mei lalu. Menurut kesaksian sejumlah murid dan guru lain, sang guru—berinisial HA, pria 43 tahun—menegur keras seorang siswa kelas VIII yang dianggap mengganggu jalannya pelajaran. Teguran yang awalnya lisan berujung pada tindakan fisik berupa tamparan.
Murid yang menjadi korban, sebut saja R (13), mengalami memar di pipi dan sempat mengalami trauma ringan. Orang tua R, yang merasa kecewa atas perlakuan tersebut, langsung melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian.
Pencabutan Laporan Tak Hentikan Proses Hukum
Beberapa minggu setelah laporan dibuat, keluarga R menyatakan telah memaafkan HA dan mencabut laporan. Hal ini dilakukan setelah ada proses mediasi yang melibatkan pihak sekolah, tokoh masyarakat, dan pihak keluarga.
Namun demikian, pihak kejaksaan tetap melanjutkan proses hukum dengan dasar bahwa kekerasan terhadap anak—terlebih dalam konteks lembaga pendidikan—adalah delik umum dan tidak bisa diabaikan meski telah ada perdamaian secara kekeluargaan.
Pengadilan Negeri Cirebon akhirnya memutuskan bahwa HA terbukti melakukan tindak kekerasan ringan terhadap anak dan menjatuhkan sanksi denda sebesar Rp25 juta atau subsider dua bulan kurungan.
Respons Beragam dari Masyarakat
Putusan ini memicu respons beragam di tengah masyarakat. Sebagian pihak menilai bahwa sanksi tersebut adalah bentuk perlindungan terhadap anak dan upaya mendorong pendidikan yang bebas dari kekerasan. Namun tidak sedikit pula yang merasa bahwa hukuman terhadap HA terlalu berat, mengingat konteksnya adalah disiplin di lingkungan pendidikan.
“Pak HA itu guru yang dikenal tegas tapi baik. Murid-murid banyak yang hormat. Kejadian ini mungkin khilaf, dan beliau sudah minta maaf. Saya pribadi berharap guru-guru tidak jadi takut mendidik,” kata salah satu rekan guru di madrasah tersebut yang enggan disebutkan namanya.
Lain halnya dengan aktivis perlindungan anak yang mengapresiasi keputusan pengadilan. “Kita harus berhenti menormalisasi kekerasan dalam bentuk apapun, apalagi terhadap anak-anak di ruang pendidikan. Pendidikan harus berjalan dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan komunikatif,” ujar Rika Andayani, dari Lembaga Perlindungan Anak Nasional.
Refleksi bagi Dunia Pendidikan
Kasus ini menjadi pengingat keras bagi dunia pendidikan di Indonesia tentang pentingnya memahami batas antara disiplin dan kekerasan. Peran guru sebagai pendidik dituntut lebih adaptif dalam menghadapi generasi muda tanpa harus mengandalkan tindakan fisik.
Kementerian Agama, yang menaungi lembaga pendidikan madrasah, turut memberikan respons atas kasus ini. Dalam pernyataan resminya, pihak kementerian menyatakan akan meningkatkan pelatihan dan pendampingan terhadap guru, khususnya dalam hal pendekatan psikologis dan manajemen kelas.
HA sendiri telah kembali ke lingkungan sekolah dan mendapat dukungan moral dari rekan-rekannya. Meski demikian, pihak sekolah menyatakan bahwa beliau tidak akan mengajar langsung dalam waktu dekat dan akan dialihkan ke tugas administrasi hingga situasi benar-benar kondusif.