Donald Trump kembali menggebrak panggung politik internasional dengan pernyataan kontroversial dan ambisiusnya: jika terpilih kembali sebagai Presiden Amerika Serikat, ia akan menelepon Presiden Rusia Vladimir Putin pada hari pertamanya menjabat, Senin, untuk mendesak diakhirinya perang di Ukraina.
Pernyataan ini disampaikan Trump dalam sebuah kampanye di New Jersey, akhir pekan lalu, di mana ia mengklaim bisa menyelesaikan konflik bersenjata antara Rusia dan Ukraina “dalam waktu 24 jam.” Sebuah janji yang memicu perdebatan hangat di dalam dan luar negeri, sekaligus menyoroti pendekatan diplomasi pribadi ala Trump yang pernah mewarnai masa jabatannya di Gedung Putih.
Diplomasi Lewat Telepon: Realistis atau Populisme?
“Saya akan menelepon Putin pada hari pertama. Hari Senin pagi,” ujar Trump di hadapan ribuan pendukungnya. “Dan saya akan menelepon Zelensky beberapa jam kemudian. Saya akan membuat mereka duduk, dan perang ini akan selesai dengan cepat. Tidak perlu lagi pembunuhan, tidak perlu lagi uang miliaran dolar.”
Trump menuduh pemerintahan Presiden Joe Biden telah memperpanjang perang dengan membanjiri Ukraina dengan bantuan militer tanpa arah penyelesaian diplomatik yang jelas. Ia juga menilai bahwa NATO dan negara-negara Eropa terlalu bergantung pada kekuatan dan dana dari Washington.
Namun, banyak pengamat menilai janji Trump sebagai retorika politik yang nyaris mustahil diwujudkan. “Perang Ukraina-Rusia bukan sekadar soal dua pemimpin yang perlu ditelepon. Ini konflik geopolitik yang kompleks, dengan akar sejarah panjang dan berbagai aktor yang terlibat,” ujar Prof. Linda Halloran, analis hubungan internasional dari Georgetown University.
Hubungan Panjang Trump dan Putin
Selama masa kepresidenannya, Trump dikenal memiliki relasi yang tidak biasa dengan Putin. Beberapa kali ia menuai kritik karena dianggap terlalu lunak terhadap pemimpin Kremlin tersebut. Bahkan laporan intelijen AS sempat menyebutkan adanya upaya Rusia memengaruhi pemilu 2016 untuk menguntungkan Trump—isu yang dibantah keras oleh mantan presiden itu.
Kini, dengan perang yang telah berlangsung lebih dari dua tahun dan menelan ratusan ribu korban, Trump berupaya menempatkan dirinya sebagai calon presiden yang mampu “mengembalikan perdamaian dunia,” meski dengan pendekatan yang dianggap banyak pihak terlalu individual dan simplistis.
Ukraina Tak Mau Ditekan
Menanggapi pernyataan Trump, Pemerintah Ukraina melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri menyatakan bahwa “setiap penyelesaian damai harus berdasarkan prinsip keadilan dan kedaulatan.” Kyiv menegaskan tidak akan menerima tekanan diplomatik untuk menyerahkan wilayahnya, termasuk Krimea dan Donbas, demi kesepakatan cepat yang menguntungkan Rusia.
Pernyataan ini secara tidak langsung menjadi sindiran terhadap pendekatan pragmatis Trump, yang sebelumnya pernah menyebut Krimea sebagai “wilayah yang sudah dikuasai Rusia sejak lama.”
Dampak Politik Global
Pernyataan Trump menimbulkan efek riak secara internasional. Sejumlah negara Eropa Timur menyuarakan kekhawatiran jika Washington di bawah Trump akan menarik dukungannya terhadap Ukraina. Di sisi lain, beberapa negara yang lelah dengan perang panjang justru menyambut baik ide negosiasi yang lebih agresif untuk menghentikan konflik.
“Trump mungkin sedang membangun citra sebagai ‘juru damai’, tapi dunia tahu bahwa konflik seperti ini tak bisa diselesaikan hanya dengan satu telepon,” ujar Michael Kovrig, mantan diplomat Kanada dan pengamat isu Rusia.