Jakarta, 21 Mei 2025 — Aksi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan para pengemudi ojek online (ojol) pada Senin, 20 Mei 2025, tak hanya menggema di jalan-jalan ibu kota, tetapi juga menyisakan catatan ekonomi yang mengejutkan. Berdasarkan estimasi dari sejumlah lembaga riset transportasi dan ekonomi, kerugian ekonomi akibat aksi tersebut mencapai sekitar Rp188 miliar hanya dalam satu hari.
Demo yang digelar sebagai bentuk protes terhadap kebijakan tarif aplikasi dan sistem kemitraan yang dinilai memberatkan, melibatkan ribuan pengemudi dari berbagai wilayah Jabodetabek. Mereka memusatkan aksinya di sejumlah titik strategis, termasuk sekitar Istana Negara, Gedung DPR/MPR, dan beberapa kantor pusat perusahaan aplikasi transportasi daring.
Tuntutan yang Mengemuka
Di antara tuntutan utama para pengemudi adalah penyesuaian tarif dasar per kilometer, transparansi sistem bonus dan insentif, serta revisi regulasi kemitraan yang dianggap timpang. Mereka menilai perusahaan penyedia aplikasi terlalu dominan dalam menentukan kebijakan tanpa melibatkan perwakilan mitra pengemudi secara adil.
“Kami bukan sekadar ‘mitra’ jika semua keputusan sepihak dari perusahaan. Kami yang di lapangan, menghadapi risiko, tapi tidak punya ruang bicara,” ujar Rahmat, salah satu koordinator aksi dari Depok.
Dampak Ekonomi Nyata
Meski berlangsung damai, aksi ini berimbas besar terhadap aktivitas harian masyarakat dan roda ekonomi, terutama di sektor transportasi dan logistik mikro. Menurut laporan dari Indonesian Urban Mobility Watch (IUMW), gangguan layanan ojek online selama 8–10 jam di wilayah padat seperti Jakarta bisa menyebabkan penurunan produktivitas hingga Rp150–Rp200 miliar.
“Banyak pekerja yang terlambat atau tidak bisa masuk kantor, pengiriman barang terhambat, hingga sektor UMKM yang mengandalkan layanan ojol untuk distribusi juga ikut terpukul,” ungkap Dr. Meutia Rachman, ekonom transportasi dari Universitas Indonesia.
Selain kerugian ekonomi langsung, potensi hilangnya kepercayaan konsumen terhadap stabilitas layanan aplikasi ojol juga menjadi perhatian serius. “Jika aksi semacam ini terus berulang tanpa solusi yang jelas, maka akan ada pergeseran preferensi konsumen ke alternatif lain, yang bisa berdampak jangka panjang,” tambah Meutia.
Respons Pemerintah dan Perusahaan
Pemerintah, melalui Kementerian Perhubungan dan Kementerian Ketenagakerjaan, telah menyatakan komitmen untuk memfasilitasi dialog antara pengemudi dan perusahaan aplikasi. Dalam konferensi pers singkat, Dirjen Perhubungan Darat, Hendro Sugiatno, menyatakan, “Kami akan segera mengundang para pihak untuk merumuskan skema tarif dan kemitraan yang lebih adil dan berkelanjutan.”
Sementara itu, pihak perusahaan aplikasi seperti Gojek dan Grab menyampaikan bahwa mereka menghargai aspirasi mitra pengemudi dan terbuka untuk dialog. Namun, mereka juga menekankan perlunya pendekatan yang mempertimbangkan keberlangsungan bisnis dan layanan kepada pengguna.
Refleksi Sosial: Antara Inovasi dan Keadilan
Fenomena demo ojol ini bukan hanya persoalan tarif atau kebijakan internal perusahaan, melainkan juga cermin dari relasi kerja era digital yang masih mencari bentuk ideal. Sistem kemitraan yang fleksibel, meski menawarkan keleluasaan, juga menimbulkan ketidakpastian penghasilan dan minimnya perlindungan kerja.
Demo 20 Mei menunjukkan bahwa di balik inovasi ekonomi digital, ada kebutuhan mendesak untuk memastikan keadilan dan keberlanjutan bagi semua pihak yang terlibat. Suara ribuan pengemudi yang memenuhi jalanan Jakarta kemarin adalah pengingat bahwa transformasi teknologi harus dibarengi dengan kebijakan yang manusiawi.