Di balik arus deras sejarah dan kekuasaan, tersimpan kisah cinta yang terlupakan—tentang seorang perempuan berdarah Indonesia yang pernah menjadi simbol kecantikan, kecerdasan, dan pengaruh di balik kursi tertinggi negeri Tirai Bambu. Namun, seperti kisah cinta dalam novel-novel klasik, kisah ini berujung tragis. Inilah narasi kelam yang membentang dari nusantara hingga ke jantung Beijing, tentang seorang perempuan yang dikenal dengan nama Dewi, yang diyakini pernah menjadi istri pemimpin besar Tiongkok, namun dihapus dari lembar sejarah resmi.
Asal Usul dari Tanah Rempah
Dewi lahir di Surabaya pada awal tahun 1930-an, dalam keluarga Tionghoa peranakan yang cukup terpandang. Ayahnya adalah seorang pedagang tekstil yang memiliki relasi dagang hingga ke daratan Tiongkok, sementara ibunya adalah perempuan Jawa yang anggun dan berpendidikan. Sejak muda, Dewi menunjukkan kecerdasan luar biasa. Ia fasih dalam beberapa bahasa—Mandarin, Belanda, dan Inggris—dan kerap disebut-sebut sebagai bunga Timur yang eksotis oleh komunitas ekspatriat pada masa itu.
Ketika Indonesia mulai bergolak menuju kemerdekaan, keluarganya memutuskan pindah ke Shanghai, berharap menemukan ketenangan. Takdir ternyata menuntunnya jauh lebih dari sekadar pelarian dari konflik. Di kota itulah Dewi bertemu dengan pria yang kelak akan mengubah seluruh jalan hidupnya.
Pertemuan yang Mengubah Segalanya
Pertemuannya dengan Jiang Qing—istri Mao Zedong—adalah sebuah kecelakaan sejarah yang tak disengaja. Namun sebelum itu, Dewi lebih dahulu bertemu dengan Lin Biao, seorang jenderal muda yang saat itu tengah naik daun. Konon, hubungan antara Dewi dan Lin dimulai dari diskusi-diskusi filsafat yang intens di sebuah rumah baca revolusioner di Beijing. Dewi memiliki daya tarik intelektual dan keanggunan yang jarang ditemukan. Lin, yang saat itu sedang mencari dukungan politik dari kalangan internasionalis muda, melihat Dewi sebagai sosok yang bisa memperhalus citranya.
Namun, tidak sedikit yang berspekulasi bahwa Dewi memiliki hubungan langsung, dan bahkan menjadi istri tidak resmi, dari Mao Zedong. Ada versi lain yang menyebutkan bahwa Dewi sempat dijodohkan dalam pernikahan politik rahasia sebagai bagian dari strategi Mao untuk menunjukkan keterbukaan Tiongkok terhadap dunia luar, khususnya Asia Tenggara. Sebagian dokumen intelijen menyebutnya sebagai “penghubung budaya”, namun di balik layar, hubungan mereka lebih dari sekadar diplomasi.
Dari Istana ke Isolasi
Namun sejarah revolusi tidak pernah mengenal belas kasih. Ketika Revolusi Kebudayaan meletus, Dewi menjadi korban intrik politik. Jiang Qing, yang merasa posisinya terancam oleh pengaruh Dewi di lingkar dalam kekuasaan, menuduhnya sebagai mata-mata asing. Dalam sidang tertutup tanpa catatan resmi, Dewi dinyatakan bersalah melakukan konspirasi ideologis dan dijatuhi hukuman tahanan rumah seumur hidup di sebuah wilayah terpencil di provinsi Gansu.
Berita tentangnya perlahan menghilang. Tidak ada catatan resmi. Tidak ada makam. Sebagian besar arsip tentang Dewi dihancurkan atau disensor oleh pemerintah. Namun dari catatan harian seorang mantan diplomat Uni Soviet, diketahui bahwa seorang perempuan “bermata lembut dan berbicara dengan aksen Indonesia” pernah tinggal di Beijing dan memiliki akses eksklusif ke lingkar dalam Partai Komunis pada awal 1960-an.
Cinta yang Tak Pernah Ditulis
Hingga hari ini, tak ada satu pun buku sejarah resmi Tiongkok yang menyebut nama Dewi. Ia adalah bayangan yang terhapus dari sejarah, namun namanya masih hidup dalam bisik-bisik para sejarawan alternatif dan diaspora Indonesia-Tionghoa yang pernah mendengar kisahnya.
Bagi sebagian orang, Dewi adalah simbol kekuatan perempuan Asia Tenggara yang mampu menembus jantung kekuasaan Beijing. Bagi yang lain, ia adalah korban cinta dan kekuasaan, terjerat dalam labirin politik laki-laki dan intrik yang tak mengenal belas kasih.
Namun satu hal yang pasti: kisah cinta Dewi adalah pengingat bahwa dalam sejarah yang ditulis oleh pemenang, selalu ada kisah yang dikubur dalam senyap—dan bahwa cinta, meski tak tercatat, tetap abadi dalam kenangan mereka yang masih percaya pada kemanusiaan.