Ketika dunia terkunci dalam polarisasi akibat perang Ukraina, sebuah kisah tak biasa datang dari medan yang penuh peluru dan propaganda. Seorang pria asal Amerika Serikat, yang awalnya digambarkan sebagai “pejuang idealis”, kini mengaku menyesal telah bergabung dengan militer Rusia. Narasi hidupnya, yang sekilas mengingatkan pada kisah epik Satria Kumbara dalam legenda Nusantara, berubah dari semangat perjuangan menjadi tragedi pribadi yang sarat penyesalan.
Mencari Makna Lewat Medan Perang
Pria tersebut, yang identitas lengkapnya sengaja disamarkan demi alasan keamanan dan privasi, dulunya adalah seorang veteran Angkatan Darat AS. Ia mengaku frustrasi dengan kebijakan luar negeri negaranya dan merasa bahwa media Barat terlalu bias dalam menggambarkan konflik Ukraina. Terpengaruh oleh narasi anti-NATO di media sosial dan jaringan propaganda internasional pro-Rusia, ia memutuskan melakukan apa yang menurutnya “benar” — terbang ke Moskwa dan mengajukan diri menjadi relawan.
“Aku ingin menjadi bagian dari perubahan. Aku pikir aku membantu mencegah dominasi satu kutub kekuatan global. Aku pikir aku membantu rakyat Donbas,” ujarnya dalam sebuah wawancara yang dibocorkan oleh jurnalis investigatif independen.
Namun kenyataan di garis depan jauh dari yang ia bayangkan.
Antara Propaganda dan Realitas
Pria itu dikerahkan ke wilayah timur Ukraina, tempat pertempuran sengit antara pasukan Rusia dan Ukraina terjadi setiap hari. Ia menggambarkan kondisi di sana sebagai “neraka tanpa logika” — taktik militer yang sembrono, suplai yang buruk, dan minimnya perlindungan bagi tentara asing.
Tidak ada rasa kepahlawanan seperti yang dijanjikan propaganda. Sebaliknya, ia menyaksikan sendiri bagaimana tentara asing seperti dirinya sering dijadikan umpan di lini depan. “Kami hanya pelengkap. Kami bukan prajurit, kami alat,” katanya.
Ironisnya, banyak tentara asing di satuannya berasal dari negara-negara yang justru menentang invasi Rusia — Brasil, Serbia, bahkan beberapa dari Prancis. Mayoritas dari mereka bukan ideolog, melainkan orang-orang putus asa: pengangguran, eks kriminal, atau korban propaganda digital yang haus akan makna hidup.
Menemukan Diri, Lalu Kehilangan Harapan
Cerita ini mengingatkan pada perjalanan Satria Kumbara dalam lakon pewayangan: seorang ksatria muda yang mengembara demi menegakkan kebenaran, namun terseret ke dalam intrik kekuasaan yang mengikis nuraninya. Dalam dunia nyata, pria ini merasakan transformasi serupa — hanya saja, akhir kisahnya tidak heroik.
Setelah hampir setahun berada di medan perang, ia mencoba melarikan diri. Dibantu jaringan aktivis HAM Eropa Timur, ia berhasil menyeberang ke Georgia dan kini hidup dalam pelarian, terputus dari keluarganya di AS yang menolak kontak sejak keputusan gilanya itu.
Ia mengaku mengalami mimpi buruk, PTSD, dan merasa hidupnya “dihabisi oleh kesalahan satu keputusan besar.”
Penyesalan dan Pelajaran
“Kalau aku bisa bicara ke diriku yang dulu, aku akan bilang: jangan sok tahu. Jangan pikir kamu bisa memahami perang dari layar YouTube atau forum Telegram. Perang bukan tempatmu menebus dosa atau mencari tujuan hidup.”
Kini, ia berharap kisahnya bisa menjadi peringatan bagi siapa pun yang terbuai romantisme konflik global. Dunia ini tidak hitam-putih, dan idealisme bisa berubah menjadi senjata yang mematikan jika tak disertai pemahaman.
“Jangan pernah percaya kamu akan jadi pahlawan dalam perang yang bukan milikmu,” katanya lirih.