Borobudur, warisan dunia yang menjulang megah di Magelang, Jawa Tengah, kembali menjadi sorotan publik. Wacana pemasangan stairlift atau lift tangga untuk membantu aksesibilitas pengunjung lansia dan penyandang disabilitas menuai pro dan kontra. Di tengah perdebatan tersebut, kalangan arkeolog mengingatkan pentingnya menjaga integritas fisik dan nilai simbolik dari Candi Borobudur.
Cagar Budaya Bukan Sekadar Obyek Wisata
Menurut para ahli arkeologi, Borobudur bukanlah sekadar destinasi wisata, melainkan cagar budaya kelas dunia yang memiliki dimensi historis, spiritual, dan artistik yang sangat kompleks. Candi Buddha terbesar di dunia ini dibangun pada abad ke-8 dan telah diakui UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia sejak 1991.
“Borobudur adalah saksi bisu peradaban Nusantara. Setiap relief, batu, dan struktur tangganya memiliki makna simbolik yang mendalam,” ujar Dr. Iwan Setiawan, arkeolog dari Universitas Gadjah Mada. “Pemasangan alat seperti stairlift harus dilakukan dengan kehati-hatian luar biasa. Jangan sampai niat baik justru merusak warisan leluhur.”
Risiko Fisik dan Visual
Stairlift, meskipun bertujuan mulia, berpotensi membawa dampak negatif terhadap struktur fisik candi yang sudah rapuh akibat usia dan paparan alam. Selain itu, kehadiran alat mekanis yang menempel pada tangga atau dinding candi bisa mengganggu keutuhan visual dan citra spiritual Borobudur sebagai tempat kontemplasi dan ziarah.
Pakar konservasi menekankan pentingnya metode reversibel dan minimal invasif jika tetap ingin menerapkan inovasi aksesibilitas. Artinya, semua modifikasi harus dapat dilepas tanpa meninggalkan jejak kerusakan pada struktur asli.
“Ketika kita bicara tentang situs warisan dunia, estetika visual dan keaslian tidak kalah penting dari fungsi,” jelas Retno Widyaningsih, kurator museum arkeologi. “Borobudur bukan gedung modern yang bisa direnovasi sesuka hati.”
Solusi Alternatif: Teknologi dan Tata Kelola
Daripada mengutak-atik fisik candi, beberapa arkeolog menyarankan pendekatan alternatif seperti penggunaan teknologi realitas virtual (VR) untuk pengalaman imersif bagi pengunjung berkebutuhan khusus. Jalur virtual ini bisa memberikan akses ke detail relief dan narasi sejarah Borobudur tanpa harus menaiki struktur aslinya.
Selain itu, pengelolaan kunjungan berbasis kuota terbatas dan panduan edukatif juga dinilai lebih berkelanjutan. Pendekatan ini telah diterapkan di berbagai situs warisan dunia seperti Machu Picchu dan Angkor Wat demi menjaga kelestarian jangka panjang.
Menjaga Martabat Budaya
Isu stairlift di Borobudur lebih dari sekadar teknis; ini menyentuh persoalan martabat budaya dan identitas bangsa. Arkeolog dan budayawan menyerukan agar semua pihak, termasuk pemerintah, pengelola, dan masyarakat, duduk bersama dalam semangat konservasi, bukan komersialisasi.
“Borobudur adalah cermin peradaban kita. Kalau kita tidak bisa merawatnya dengan hormat, apa yang akan diwariskan pada generasi mendatang?” pungkas Dr. Iwan.
Keputusan apa pun soal aksesibilitas di Candi Borobudur haruslah berdiri di atas fondasi ilmu pengetahuan, etika konservasi, dan penghormatan terhadap nilai sejarah. Jangan sampai kenyamanan jangka pendek mengorbankan nilai abadi yang tak tergantikan.