Di atas tebing batu yang menjulang di Pegunungan Dângrêk, berdiri megah Candi Preah Vihear—situs warisan dunia UNESCO yang dibangun sejak abad ke-9 oleh para raja Khmer. Di balik pesona arsitektur klasik dan nuansa spiritualnya, candi ini menyimpan bara konflik yang sewaktu-waktu bisa menyulut api perang. Bukan sekadar perebutan tumpukan batu tua, namun simbol harga diri nasional yang telah menjadi luka lama antara Thailand dan Kamboja.
Jejak Sejarah yang Berlumur Sengketa
Candi Preah Vihear secara geografis berada tepat di tepi perbatasan dua negara. Ketika Kekaisaran Khmer runtuh, wilayah itu perlahan-lahan masuk dalam pengaruh Siam (kini Thailand). Namun, pada masa kolonial Prancis menguasai Kamboja, muncul peta buatan Prancis pada tahun 1907 yang menempatkan candi itu dalam wilayah Kamboja.
Thailand sempat menguasai kembali Preah Vihear pada era 1940-an. Namun pada 1962, Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag memutuskan bahwa Candi Preah Vihear secara sah milik Kamboja. Thailand menerima keputusan tersebut, tapi tidak pernah sepenuhnya rela.
Kuncinya adalah ini: ICJ hanya memutuskan soal candi, bukan soal tanah di sekitarnya. Dan di situlah benih konflik berkembang.
Simbol Nasionalisme yang Membara
Bagi Kamboja, Preah Vihear adalah simbol kebanggaan nasional. Pemerintah Phnom Penh mempromosikannya sebagai lambang kejayaan Khmer kuno. Pada 2008, Kamboja berhasil memasukkan candi ini ke dalam daftar Warisan Dunia UNESCO. Inilah titik api baru. Thailand memandang langkah itu sebagai pengabaian terhadap zona sengketa di sekitarnya.
Demonstrasi pecah di Bangkok. Media-media nasionalis menggambarkan seolah pemerintah Thailand menyerahkan warisan leluhur begitu saja. Retorika politik berubah menjadi agresi militer.
Di sisi lain, Kamboja memperkuat posisi tentaranya di sekitar candi. Mereka membangun jalan akses dari wilayahnya, mendirikan pos penjagaan, dan mengibarkan bendera nasional. Thailand membalas dengan pengerahan pasukan ke perbatasan. Insiden tembakan pun pecah—dan jatuh korban jiwa.
Titik Panas yang Tak Pernah Dingin
Konflik meletup pada tahun 2011, ketika artileri kedua negara saling membombardir wilayah perbatasan. Puluhan tentara tewas dan ribuan warga sipil mengungsi. Candi itu pun mengalami kerusakan akibat gempuran senjata berat. Dunia internasional bersuara, menyerukan perdamaian, namun ketegangan tak kunjung padam.
Apa yang sesungguhnya dipertaruhkan? Bukan hanya soal klaim sejarah atau batas negara. Tapi juga potensi ekonomi dari kawasan itu—akses wisata, eksplorasi sumber daya alam, dan posisi strategis militer.
Mahkamah dan Diplomasi: Solusi yang Rapuh
Pada 2013, Kamboja kembali membawa sengketa ini ke Mahkamah Internasional, kali ini untuk memperjelas status tanah di sekitar candi. ICJ memperkuat klaim Kamboja, memutuskan bahwa Thailand harus menarik pasukannya dari daerah di dekat candi.
Namun di lapangan, garis demarkasi tetap kabur. Tentara dari kedua pihak masih berjaga-jaga, hanya dipisahkan oleh ranjau darat dan pagar kawat berduri. Ketegangan bisa meletus kapan saja, terlebih jika kepentingan politik dalam negeri kedua negara membutuhkannya sebagai alat konsolidasi nasionalisme.
Lebih dari Sekadar Batuan Kuno
Preah Vihear hari ini bukan hanya soal arkeologi, melainkan simbol rumit dari sejarah, geopolitik, dan memori kolektif bangsa. Ia mengajarkan kita bahwa warisan budaya bisa menjadi pusaka pemersatu, atau sebaliknya—titik ledak peperangan.
Thailand dan Kamboja harus terus bernegosiasi, bukan hanya soal peta dan patok perbatasan, tapi soal keberanian untuk melihat masa lalu secara jernih dan masa depan secara bijaksana.
Karena dalam setiap batu Preah Vihear, tersimpan bukan hanya sejarah purba, tapi juga harapan akan perdamaian yang belum selesai ditulis.