Pada peringatan 27 tahun Reformasi, aksi demonstrasi mahasiswa yang berlangsung di depan Istana Merdeka, Jakarta, pada 20 Oktober 2017, berakhir ricuh. Sebanyak 16 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya.
Kronologi Aksi dan Penetapan Tersangka
Aksi yang dimulai sejak pukul 13.00 WIB tersebut awalnya berjalan damai. Namun, hingga pukul 18.00 WIB, massa demonstran menolak membubarkan diri meskipun telah diimbau oleh aparat kepolisian. Situasi memanas dan berujung pada tindakan pembubaran paksa oleh aparat, yang kemudian menimbulkan kericuhan.
Dari insiden tersebut, dua mahasiswa ditahan dengan tuduhan melanggar Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, serta Pasal 216 dan 218 KUHP terkait ketidakpatuhan terhadap perintah petugas. Sementara 14 mahasiswa lainnya dikenai Pasal 216 dan 218 KUHP.
Reaksi dan Dukungan
Penetapan status tersangka terhadap para mahasiswa mendapat kecaman dari berbagai pihak. Alumni Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Sebelas Maret (UNS) periode 2002–2016 menyatakan bahwa tindakan tersebut mencerminkan sikap represif rezim yang berkuasa dan merupakan bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi.
“Mengapa kita mengatakan matinya demokrasi Indonesia dan menolak rezim represif yang membungkam mahasiswa? Karena ini jelas, salah satu soko guru demokrasi adalah saat ada jaminan kebebasan berekspresi dan penegakan hukum yang tak diskriminatif,” ujar Ikhlas Thamrin, Presiden BEM UNS tahun 2005.
Rektorat UNS menyatakan akan memberikan pendampingan hukum kepada mahasiswanya yang menjadi tersangka, menyerahkan bentuk pendampingan tersebut kepada Ikatan Alumni Fakultas Hukum UNS.
Implikasi dan Refleksi
Kasus ini menyoroti ketegangan antara kebebasan berekspresi dan penegakan hukum di Indonesia. Sementara demonstrasi merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara, tindakan aparat yang dianggap berlebihan dapat mencederai semangat reformasi yang telah diperjuangkan sejak 1998.
Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa perjuangan untuk menjaga dan memperkuat demokrasi harus terus dilakukan, dengan memastikan bahwa kebebasan berpendapat dan berkumpul tetap dilindungi, serta penegakan hukum dilakukan secara adil dan proporsional.