Tokyo, Jepang – Suasana tenang di sekitar Perpustakaan Kota Nerima pada suatu sore musim semi mendadak berubah menjadi pusat perhatian. Bukan karena peluncuran buku baru atau kegiatan literasi, melainkan karena penangkapan yang tidak biasa: seorang anggota yakuza senior ditangkap oleh pihak kepolisian, hanya beberapa meter dari gedung yang identik dengan ketenangan dan ilmu pengetahuan itu.
Pria berusia 52 tahun itu, yang diidentifikasi sebagai Hideaki Tanaka, diketahui merupakan anggota dari salah satu faksi Yamaguchi-gumi, kelompok kriminal terorganisir terbesar di Jepang. Penangkapannya memicu gelombang keheranan di kalangan warga sekitar—bukan hanya karena siapa dia, tetapi karena tempat dia ‘mengantor’.
“Kantor” Tak Biasa di Dekat Buku dan Sunyi
Selama lebih dari tiga bulan, Tanaka disebut menjadikan sebuah ruangan kecil di sebuah bangunan tua, hanya beberapa langkah dari perpustakaan, sebagai tempat ia mengatur urusan kelompoknya. Dari luar, tempat itu tampak seperti ruang konsultasi pajak atau biro kecil penerjemah dokumen. Tidak ada papan nama mencolok, hanya sebuah stiker kecil bertuliskan “Private”.
Namun menurut penyelidikan polisi, ruangan tersebut digunakan Tanaka untuk melakukan pertemuan terbatas dengan anggotanya, menerima “laporan” mingguan, serta—yang paling ironis—mendistribusikan daftar tunggakan utang dari kegiatan rentenir.
Yang membuat kasus ini semakin menarik adalah kebiasaan unik Tanaka. Setiap pagi sebelum membuka ‘kantor’, ia terlihat duduk di bangku taman depan perpustakaan, membaca koran, dan kadang-kadang membuka buku—terutama novel detektif dan sejarah feodal Jepang. Ia bahkan sempat berbincang dengan beberapa mahasiswa dan petugas perpustakaan tentang buku-buku favoritnya.
Seorang pustakawan yang tak ingin disebutkan namanya mengungkapkan, “Kami sempat mengira dia pensiunan guru. Gayanya tenang, sopan, bahkan pernah membantu seorang anak kecil yang kehilangan dompet. Tak ada yang menyangka siapa dia sebenarnya.”
Penangkapan yang Nyaris Seperti Sandiwara
Operasi penangkapan dilakukan tanpa kekerasan. Polisi berpakaian sipil yang telah membuntuti Tanaka selama beberapa minggu akhirnya mengepung kantor mungilnya ketika ia tengah sendirian di dalam. Saksi mata mengatakan, Tanaka sempat mengangguk tenang sebelum diborgol, seolah ia sudah tahu waktunya telah tiba.
“Saat dibawa keluar, dia hanya berkata: ‘Bahkan samurai tahu kapan harus mengundurkan diri,’” ungkap seorang penyelidik yang terlibat dalam penangkapan itu.
Dari hasil penggeledahan, polisi menemukan dokumen transaksi ilegal, catatan peminjaman uang dengan bunga mencekik, serta beberapa senjata tajam tradisional—termasuk tantō, pisau pendek khas Jepang yang sering diasosiasikan dengan yakuza. Anehnya, juga ditemukan koleksi buku langka tentang sejarah klan Tokugawa dan volume lengkap karya Yukio Mishima.
Simbol Lama dalam Dunia Baru
Penangkapan Tanaka menyibakkan fenomena menarik: bagaimana kelompok yakuza mencoba menyamarkan diri di tengah modernisasi dan pengawasan ketat. Jika dulu mereka menguasai distrik hiburan dan pelabuhan, kini banyak dari mereka ‘mengantor’ di lokasi-lokasi tak terduga—mulai dari salon kecantikan, rumah terapi alternatif, hingga, seperti kasus Tanaka, dekat perpustakaan.
Profesor Hiroshi Sakamoto, ahli kriminologi dari Universitas Waseda, mengatakan bahwa strategi ini adalah bagian dari “kamuflase sosial” yang semakin sering dilakukan kelompok kriminal untuk menghindari pengawasan.
“Perpustakaan adalah tempat yang tidak dicurigai. Sunyi, steril, dan dihormati. Dengan menempatkan diri di sekitar tempat seperti itu, mereka menyisipkan diri dalam ketenangan publik, bahkan membentuk citra yang jauh dari stigma,” jelas Sakamoto.
Epilog Sunyi di Balik Jeruji
Kini Tanaka ditahan dan menghadapi dakwaan berlapis, termasuk kepemilikan senjata ilegal dan keterlibatan dalam praktik lintah darat. Sementara kantor kecilnya telah disegel, dan perpustakaan di dekatnya kembali sunyi seperti biasa. Namun para staf kini mengenang pria berkemeja linen abu-abu yang setiap pagi membaca buku tentang samurai, dengan rasa campur aduk.
Seorang mahasiswa, yang sempat berdiskusi soal novel Ryōtarō Shiba dengan Tanaka, hanya berkata singkat saat ditanya: “Saya pikir dia hanya pria kesepian yang mencintai sejarah. Saya tidak tahu dia sedang menulis sejarah kriminalnya sendiri.”