Jakarta — Di tengah upaya menciptakan rasa aman dan tertib di masyarakat, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) kembali mengingatkan pentingnya peran publik dalam memberantas aksi premanisme yang kerap meresahkan. Melalui imbauan resmi, Polri mengajak masyarakat untuk tidak ragu melapor setiap kali menjumpai tindakan premanisme, pemalakan, atau intimidasi—cukup dengan menghubungi nomor darurat 110.
Ajakan ini bukan sekadar seruan biasa. Di baliknya tersimpan semangat membangun kolaborasi antara aparat dan rakyat dalam menciptakan ruang publik yang lebih manusiawi dan beradab.
Premanisme: Luka Lama yang Tak Boleh Diabaikan
Fenomena premanisme bukanlah hal baru di Indonesia. Dari kota besar hingga daerah terpencil, wajah preman hadir dalam berbagai bentuk: pungli di terminal, intimidasi di kawasan pasar, hingga aksi kekerasan yang memanfaatkan kekuasaan informal untuk menekan warga biasa. Meski tak selalu tampil dalam bentuk kekerasan fisik, dampaknya nyata—rasa takut, ketidakpastian hukum, dan lumpuhnya ruang hidup masyarakat.
“Kami mengajak seluruh masyarakat untuk tidak diam. Premanisme tidak boleh diberi ruang,” tegas Kepala Divisi Humas Polri, Brigjen Pol. [Nama], dalam konferensi pers di Jakarta, belum lama ini.
Layanan 110: Gratis, Cepat, dan Dijamin Aman
Untuk merespons laporan masyarakat dengan cepat, Polri kembali menegaskan bahwa layanan panggilan 110 tersedia 24 jam, bebas pulsa, dan langsung terhubung ke pusat komando kepolisian terdekat. Masyarakat yang melapor tidak perlu mengungkap identitas secara terbuka jika khawatir terhadap keselamatan pribadi.
“Layanan 110 ini tidak hanya untuk kejadian darurat seperti kriminalitas atau kecelakaan, tapi juga untuk tindakan-tindakan premanisme yang selama ini dianggap remeh tapi sesungguhnya mengganggu ketertiban umum,” tambahnya.
Polri juga menjamin kerahasiaan pelapor. Dalam beberapa kasus, pihak kepolisian telah berhasil menangkap pelaku premanisme berkat laporan cepat warga, terutama di kawasan terminal, pelabuhan, dan pusat perbelanjaan.
Kolaborasi Masyarakat: Kunci Keberhasilan
Langkah ini sejalan dengan pendekatan community policing yang selama ini diusung Polri: keamanan bukan semata tanggung jawab aparat, melainkan tanggung jawab bersama. Premanisme, bila dibiarkan, akan berkembang menjadi jaringan kekerasan yang lebih terstruktur. Namun jika dilawan bersama, perlahan akan kehilangan ruang geraknya.
Sejumlah warga yang pernah memanfaatkan layanan 110 menyampaikan pengalaman positif. “Awalnya saya ragu karena takut. Tapi setelah mencoba, ternyata responsnya cepat dan pelaku langsung ditindak,” ujar Junaedi, seorang pedagang kaki lima di Jakarta Timur.
Perlu Dukungan Serius Pemerintah Daerah
Meski Polri telah membuka kanal laporan dan melakukan berbagai razia premanisme secara rutin, namun upaya ini tidak bisa berjalan sendiri. Pemerintah daerah, pengelola pasar, terminal, dan kawasan publik lainnya diimbau ikut aktif menciptakan ekosistem yang bebas dari praktik-praktik pungli dan intimidasi.
Para tokoh masyarakat, pemuka agama, dan organisasi kemasyarakatan juga didorong menjadi garda terdepan dalam mengedukasi warga agar tidak ragu bersuara. Premanisme kerap tumbuh karena masyarakat merasa tak punya saluran untuk bertindak, atau merasa akan sia-sia jika melapor.
Wajah Baru Penegakan Hukum
Langkah Polri membuka kanal pelaporan yang mudah dan ramah masyarakat menunjukkan komitmen institusi tersebut untuk berubah. Tak ada lagi kesan menakutkan saat berhadapan dengan polisi, tak ada lagi ruang abu-abu bagi pelaku kekerasan yang berlindung di balik “ketokohan” informal.
Kini, saatnya masyarakat mengambil bagian. Karena melawan premanisme bukan sekadar tugas kepolisian—itu adalah hak setiap warga negara untuk hidup tanpa rasa takut.