Jakarta — Gagasan legalisasi kasino di Indonesia kembali mencuat ke permukaan. Wacana yang dulu hanya dibicarakan dalam ruang akademik kini mulai menjadi diskusi publik. Salah satu suara mencolok datang dari kalangan akademisi. Guru Besar Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. [Nama], menilai bahwa Indonesia perlu membuka ruang dialog tentang legalisasi kasino, bukan untuk membudayakan perjudian, tetapi untuk melihatnya sebagai potensi ekonomi yang bisa dikelola dengan cara yang bertanggung jawab.
Lebih menarik, sang guru besar mengajak publik untuk tidak alergi membandingkan diri dengan negara-negara mayoritas Muslim lainnya, seperti Uni Emirat Arab (UEA) dan Malaysia, yang telah lebih dulu mengatur praktik perjudian dalam kerangka hukum yang ketat dan terkontrol.
Melihat Fakta, Bukan Dogma
Dalam diskusi terbuka di kampus UI baru-baru ini, Prof. [Nama] menegaskan bahwa wacana legalisasi kasino harus dilihat secara objektif. “Kita terlalu sering terjebak pada stigma moral tanpa melihat realitas yang terjadi. Padahal, negara-negara seperti UEA dan Malaysia yang mayoritas penduduknya Muslim pun telah memiliki kerangka hukum untuk mengatur kasino, bukan untuk merusak, tapi untuk mengendalikan dan mengoptimalkan manfaat ekonomi,” jelasnya.
Menurutnya, selama ini praktik perjudian ilegal tetap eksis di berbagai daerah di Indonesia, termasuk kasino bawah tanah dan judi online. “Pertanyaannya, apakah lebih baik membiarkannya tumbuh dalam kegelapan, atau justru menghadirkannya ke permukaan dengan pengawasan yang ketat dan kontribusi nyata terhadap negara?”
Belajar dari Uni Emirat Arab dan Malaysia
Uni Emirat Arab, khususnya emirat Ras Al Khaimah, telah membuat gebrakan dengan mengumumkan rencana pembangunan resor kasino yang dikelola oleh operator internasional ternama. Meskipun pelaksanaan praktik perjudian diatur secara ketat dan tidak terbuka untuk semua warga, UEA mampu memisahkan antara kebutuhan ekonomi dan norma agama tanpa menimbulkan kekacauan sosial.
Sementara itu, Malaysia sejak lama telah mengatur satu-satunya kasino legal di Genting Highlands. Pemerintah Malaysia tidak membuka perjudian secara bebas, tetapi melalui izin terbatas dan pengawasan ketat, industri ini memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan negara, termasuk sektor pariwisata dan tenaga kerja.
Prof. [Nama] menilai bahwa pendekatan semacam ini bisa menjadi rujukan bagi Indonesia. “Legalitas tidak harus berarti liberalisasi. Justru dengan legalitas, negara memiliki kontrol. Kita bisa belajar dari model-model yang telah teruji di negara-negara yang nilai keagamaannya tetap terjaga,” ujarnya.
Potensi Ekonomi dan Dilema Sosial
Indonesia, dengan populasi besar dan daya tarik wisata yang luas, menyimpan potensi besar jika sektor hiburan seperti kasino dapat dimanfaatkan secara bijak. Pemerintah bisa mengarahkan pendapatan dari industri ini untuk mendanai sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan.
Namun, tentu tidak sedikit pihak yang menentang gagasan ini. Organisasi keagamaan, aktivis moral, hingga sebagian masyarakat melihat legalisasi kasino sebagai ancaman bagi nilai-nilai sosial dan agama. Menjawab kekhawatiran ini, Prof. [Nama] menegaskan bahwa justru melalui legalisasi, negara memiliki mekanisme pengendalian. “Kalau dibiarkan ilegal, tidak ada yang bisa menjamin siapa yang bermain, bagaimana mereka bermain, dan ke mana uangnya mengalir. Ini soal tata kelola, bukan semata-mata soal moral.”
Menuju Diskusi yang Rasional
Legal atau tidak, realitas perjudian di Indonesia sudah menjadi bagian dari kehidupan bawah tanah. Langkah selanjutnya, menurut para ahli, bukan menutup mata, tetapi membuka dialog lintas sektor—akademisi, pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat sipil.
“Ini saatnya kita berani berdiskusi secara jernih. Jangan takut pada wacana. Kita bisa tetap religius dan nasionalis, sekaligus rasional dan realistis,” tutup Prof. [Nama].
Apakah Indonesia siap mengikuti jejak negara-negara Muslim yang telah mengatur perjudian secara hukum? Waktu dan keberanian politik akan menjawabnya. Yang jelas, diskusi ini tak lagi bisa ditutupi atau diseret hanya dalam ruang moral. Sudah waktunya publik mendiskusikannya sebagai bangsa yang dewasa.