Pada 10 Oktober 2025, Pengadilan Banding Inggris memutuskan untuk membebaskan seorang pria yang sebelumnya dijatuhi hukuman karena membakar Al-Qur’an di depan umum. Tindakan pria tersebut, yang dilakukan pada awal tahun 2025, sempat memicu protes besar dari komunitas Muslim di Inggris dan negara-negara lain. Namun, pengadilan menilai bahwa tindakannya dilindungi oleh hak kebebasan berbicara yang dijamin oleh hukum Inggris.
Keputusan Pengadilan dan Alasan Hukum
Dalam sidang banding, pengacara terdakwa berargumen bahwa meskipun tindakannya menyinggung perasaan banyak orang, itu merupakan ekspresi pendapat pribadi yang sah menurut hukum. Mereka menekankan bahwa kebebasan berbicara adalah prinsip dasar dalam sistem hukum Inggris, dan tindakan tersebut tidak memenuhi kriteria untuk dianggap sebagai ujaran kebencian atau provokasi yang melanggar hukum.
Hakim yang memimpin persidangan menyatakan bahwa meskipun tindakan tersebut sangat kontroversial dan dapat menimbulkan perasaan tersinggung, tidak ada bukti yang cukup untuk mendakwa pria tersebut berdasarkan undang-undang yang ada. Oleh karena itu, hukuman sebelumnya dibatalkan, dan pria tersebut dibebaskan dari segala tuduhan.
Reaksi Publik dan Komunitas Muslim
Keputusan pengadilan ini memicu reaksi keras dari berbagai kalangan. Komunitas Muslim di Inggris dan luar negeri menganggap pembebasan tersebut sebagai bentuk pengabaian terhadap sensitivitas agama dan penghinaan terhadap simbol-simbol keagamaan. Mereka menuntut agar pemerintah Inggris meninjau kembali kebijakan terkait kebebasan berbicara, khususnya yang berkaitan dengan penghinaan terhadap agama.
Di sisi lain, kelompok-kelompok yang mendukung kebebasan berbicara berpendapat bahwa keputusan pengadilan adalah langkah penting untuk melindungi hak individu dalam menyuarakan pendapat, meskipun pendapat tersebut tidak populer atau kontroversial. Mereka menekankan bahwa membatasi kebebasan berbicara dapat membuka celah bagi pembatasan hak-hak lainnya.
Implikasi Terhadap Kebijakan Hukum di Inggris
Kasus ini menyoroti tantangan dalam menyeimbangkan antara perlindungan terhadap kebebasan berbicara dan penghormatan terhadap keyakinan agama. Meskipun Inggris memiliki undang-undang yang melindungi kebebasan berbicara, undang-undang tersebut juga menetapkan batasan terhadap ujaran kebencian dan provokasi yang dapat menimbulkan kebencian rasial atau agama.
Keputusan pengadilan ini kemungkinan akan memicu perdebatan lebih lanjut mengenai sejauh mana kebebasan berbicara dapat diterima tanpa menyinggung perasaan kelompok tertentu. Pemerintah Inggris mungkin perlu mempertimbangkan untuk memperbarui undang-undang yang ada agar lebih jelas dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan penghinaan terhadap agama dan simbol-simbol keagamaan.