Ada momen yang jarang terjadi, namun sarat makna, ketika Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, kembali bertemu dengan Jenderal (Purn.) Mulyono, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) yang pernah menjadi salah satu sosok kepercayaan Jokowi di awal masa kepemimpinannya. Reuni ini berlangsung dalam suasana yang akrab, namun juga menyimpan simbol-simbol penting di balik narasi politik dan loyalitas militer.
Pertemuan itu disebut-sebut bukan sekadar silaturahmi biasa. Meski Mulyono dikabarkan tengah tidak dalam kondisi fisik terbaiknya, ia tetap hadir. Bahkan menurut sumber dekat lingkaran mantan presiden, Jokowi secara pribadi meminta kehadiran sang jenderal, dan permintaan itu tak bisa ditolak. Ada ikatan emosional yang dalam di antara keduanya, yang membuat permintaan tersebut menjadi lebih dari sekadar formalitas.
Pertemuan Dua Era: Dari Istana ke Masa Purnatugas
Jenderal Mulyono dikenal luas sebagai salah satu figur militer yang disegani. Diangkat sebagai KSAD pada 2015, hanya setahun setelah Jokowi menjabat presiden, Mulyono kala itu dipilih bukan semata karena senioritas, tapi juga karena ketegasan dan reputasinya yang bebas dari intrik politik. Di masa pemerintahannya, Jokowi mengandalkan Mulyono dalam berbagai manuver strategis, terutama yang berkaitan dengan reformasi internal militer dan penguatan peran TNI dalam menjaga stabilitas nasional.
Bagi Jokowi, Mulyono bukan sekadar seorang mantan KSAD. Ia adalah rekan seperjalanan di saat negeri ini menghadapi berbagai tantangan serius: mulai dari ancaman separatisme, radikalisme, hingga tekanan politik domestik. Maka tak heran, dalam suasana reuni itu, hubungan mereka terlihat jauh melampaui protokol.
“Paksa” Hadir: Simbol Loyalitas Tak Berubah
Yang menarik dari pertemuan ini bukan hanya keberadaan keduanya dalam satu forum tertutup, tetapi bagaimana Jokowi dikabarkan secara langsung meminta Mulyono datang, meski tahu kondisi kesehatannya sedang menurun. Seorang narasumber yang hadir dalam pertemuan menyebutkan, “Pak Jokowi bilang sendiri, ‘Saya ingin Pak Mul hadir. Ini penting.’ Dan Jenderal, dengan segala keterbatasannya, tetap datang. Itu menggambarkan loyalitas yang tidak berubah meski sudah purnatugas.”
Gestur ini menandakan bahwa loyalitas di tubuh TNI, khususnya antara prajurit dan pemimpinnya, tidak sekadar dibatasi masa jabatan. Jokowi dan Mulyono, dua figur dari dunia yang berbeda—sipil dan militer—tapi terhubung oleh nilai-nilai pengabdian dan saling hormat.
Isyarat Politik atau Nostalgia?
Tentu saja, dalam dunia politik Indonesia, setiap pertemuan figur penting selalu mengundang tafsir. Banyak yang melihat reuni ini sebagai manuver simbolik menjelang konstelasi politik baru pasca-pemerintahan Jokowi. Meski tak lagi memegang tampuk kekuasaan, pengaruh Jokowi tetap signifikan, baik di level partai maupun jaringan loyalis di berbagai institusi.
Namun sebagian lainnya menilai ini semata nostalgia. Reuni dua sosok yang pernah bahu-membahu menjaga republik dari berbagai gejolak. Reuni yang mengingatkan bahwa di balik dinamika politik, ada hubungan personal yang tak mudah dipecah.
Mulyono, Sosok yang Tetap Rendah Hati
Dalam pertemuan itu, Jenderal Mulyono tetap tampil sederhana seperti biasanya. Tidak banyak bicara, namun kehadirannya memberikan bobot tersendiri dalam suasana pertemuan. Ia duduk di samping Jokowi dalam posisi yang mencerminkan penghormatan, tapi juga kedekatan.
Sejumlah peserta yang hadir dalam forum tersebut menggambarkan suasananya penuh kekeluargaan, tanpa ketegangan, tanpa protokol berlebihan. “Bukan soal siapa menjabat apa sekarang. Yang kita lihat tadi adalah hubungan batin yang tulus,” ujar seorang pensiunan jenderal yang juga turut hadir.
Penutup: Sebuah Reuni yang Penuh Makna
Di tengah cepatnya perputaran elite politik dan militer Indonesia, pertemuan seperti ini menjadi oase. Ia menunjukkan bahwa loyalitas sejati tak lekang oleh waktu, dan persahabatan bisa melampaui batas struktur jabatan. Jokowi dan Mulyono telah membuktikan bahwa perbedaan latar belakang tidak menjadi penghalang untuk membangun ikatan yang kuat atas dasar kepercayaan dan tanggung jawab bersama terhadap negeri.
Reuni ini, meski tampak sederhana, menjadi catatan penting dalam peta relasi kekuasaan di Indonesia. Barangkali ini bukan reuni terakhir. Namun yang pasti, ini adalah salah satu momen yang menunjukkan bahwa nilai-nilai kesetiaan, komitmen, dan persahabatan tetap memiliki tempat di tengah dinamika politik yang terus berubah.