Jakarta – Pemerintah Indonesia mendapatkan angin segar dalam isu perdagangan internasional setelah Amerika Serikat menunda penerapan tarif impor sebesar 32 persen terhadap sejumlah produk asal Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengonfirmasi bahwa keputusan penundaan ini merupakan hasil dari upaya diplomasi yang intensif antara kedua negara.
Dalam keterangannya kepada media pada pekan ini, Airlangga menyebut bahwa tarif yang semula dijadwalkan akan mulai berlaku tahun ini, kini ditunda sembari kedua negara melanjutkan negosiasi terkait fasilitas perdagangan yang selama ini diberikan kepada Indonesia melalui skema Generalized System of Preferences (GSP).
“Tarif sebesar 32 persen untuk beberapa komoditas ekspor Indonesia ke Amerika Serikat, yang semula akan diberlakukan, saat ini ditunda. Ini menjadi sinyal positif bahwa masih ada ruang diplomasi untuk mempertahankan akses pasar yang selama ini dinikmati,” ujar Airlangga.
Dampak Strategis bagi Ekspor Nasional
Kebijakan penundaan ini dinilai strategis karena memberikan waktu tambahan bagi eksportir nasional untuk menyesuaikan diri sekaligus menjaga daya saing produk Indonesia di pasar Amerika. Beberapa produk yang terdampak mencakup alas kaki, tekstil, furnitur, hingga komponen elektronik—sektor-sektor yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Amerika Serikat masih menjadi salah satu pasar utama bagi ekspor Indonesia, dengan nilai perdagangan bilateral yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Penerapan tarif tambahan dinilai berpotensi menekan nilai ekspor hingga miliaran dolar, serta berdampak langsung pada pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) yang tergabung dalam rantai pasok.
Negosiasi GSP dan Posisi Indonesia
Fasilitas GSP yang sebelumnya dinikmati Indonesia sempat dicabut oleh Pemerintah AS pada masa pemerintahan sebelumnya. Meski sebagian sektor tetap mendapatkan akses preferensial, status Indonesia sebagai negara berkembang terus menjadi perdebatan dalam konteks perdagangan internasional.
“Posisi Indonesia saat ini berada dalam masa transisi status ekonomi. Meski bukan negara miskin, kita masih memiliki tantangan struktural dalam hal pemerataan dan daya saing industri. Karena itu, kami terus mendorong agar fasilitas perdagangan tetap diberikan secara adil,” kata Airlangga.
Ia menambahkan bahwa pemerintah tengah menyusun strategi perdagangan jangka panjang untuk mengantisipasi dinamika geopolitik global, termasuk peningkatan tensi dagang antara kekuatan-kekuatan besar seperti AS dan Tiongkok.
Langkah Pemerintah ke Depan
Sebagai respons atas situasi ini, pemerintah akan mengintensifkan dialog bilateral, memperkuat koordinasi antar kementerian, serta mendorong ekspansi pasar non-tradisional sebagai bentuk diversifikasi ekspor.
“Kami tidak hanya menunggu, tetapi juga aktif membuka pasar-pasar baru di Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin. Diversifikasi pasar adalah kunci untuk menjaga ketahanan ekonomi nasional,” tegas Airlangga.
Selain itu, pelaku industri dalam negeri didorong untuk meningkatkan kualitas produk, mempercepat transformasi digital, serta menerapkan standar keberlanjutan agar dapat memenuhi tuntutan pasar internasional yang kian ketat.