Jakarta — Anggota DPR RI dan budayawan Fadli Zon resmi menetapkan tanggal 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional. Keputusan ini menjadi buah dari perjuangan panjang yang melibatkan pelaku seni, akademisi, serta pemerhati budaya yang selama ini merasa kebudayaan Indonesia belum mendapat tempat yang layak dalam kalender nasional.
Pengumuman ini disampaikan Fadli Zon dalam acara bertajuk “Indonesia dan Jalan Budayanya” yang digelar di Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. Dalam pidatonya, Fadli menekankan bahwa kebudayaan bukan sekadar warisan, melainkan fondasi eksistensi bangsa Indonesia itu sendiri.
“Tanpa kebudayaan, Indonesia hanyalah nama di peta. Ia bisa saja kuat secara ekonomi, tapi akan rapuh jika kehilangan akar budayanya,” ujar Fadli di hadapan hadirin yang terdiri dari budayawan, mahasiswa, dan seniman dari berbagai daerah.
Mengapa 17 Oktober?
Penetapan tanggal 17 Oktober bukan tanpa makna. Tanggal ini dipilih merujuk pada momen penting di tahun 1945 ketika Presiden Soekarno menyampaikan pidato yang menekankan pentingnya revolusi kebudayaan sebagai pondasi revolusi nasional. Meskipun kurang dikenal, pidato itu disebut sebagai salah satu pilar konseptual bangsa yang menempatkan kebudayaan di jantung perjuangan Indonesia pasca-kemerdekaan.
Fadli menjelaskan bahwa semangat 17 Oktober adalah menghidupkan kembali kesadaran akan pentingnya identitas budaya dalam menghadapi tantangan globalisasi. Menurutnya, “Kebudayaan harus menjadi poros pembangunan nasional. Bukan sekadar pelengkap seremoni atau etalase pariwisata.”
Dukungan Luas dari Masyarakat Budaya
Sejumlah tokoh budaya turut hadir dan menyatakan dukungan atas inisiatif ini. Seniman teater senior Putu Wijaya menyebut langkah ini sebagai “angin segar” di tengah keterasingan kebudayaan dari panggung kebijakan publik. Sementara itu, penyair dan akademisi Nirwan Dewanto menyatakan bahwa penetapan Hari Kebudayaan Nasional dapat menjadi titik balik dalam upaya dekolonisasi cara pandang masyarakat terhadap nilai-nilai lokal.
Tak hanya dari kalangan elite, dukungan juga datang dari komunitas budaya akar rumput. Di Yogyakarta, komunitas gamelan dan tari menggelar pertunjukan spontan sebagai bentuk perayaan simbolik. Di Sumatera Barat, sanggar-sanggar minangkabau mengadakan diskusi kebudayaan sebagai refleksi menyambut momentum ini.
Tantangan ke Depan
Meski inisiatif ini mendapat sambutan hangat, tantangan ke depan tidak ringan. Di tengah arus digitalisasi dan komersialisasi kebudayaan, mempertahankan esensi dan keberlanjutan nilai-nilai lokal menjadi pekerjaan rumah bersama.
Fadli mengakui bahwa penetapan tanggal hanyalah langkah awal. Ia berharap Hari Kebudayaan Nasional bisa mendorong lahirnya kebijakan yang lebih konkret, seperti pendidikan budaya di sekolah, revitalisasi ruang seni tradisional, hingga perlindungan terhadap bahasa dan kearifan lokal yang mulai punah.
“Kita tidak ingin kebudayaan hanya dikenang. Kita ingin ia hidup dan memberi arah,” pungkas Fadli.
Dengan penetapan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional, Indonesia mengambil langkah simbolis namun strategis untuk kembali menengok akar sejarahnya. Di tengah zaman yang serba cepat dan berubah, kebudayaan menjadi jangkar yang menahan bangsa agar tak tercerabut dari identitasnya.