Tel Aviv, Juli 2025 — Dunia internasional kembali dikejutkan dengan pernyataan kontroversial dari Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan media Israel Channel 14, Netanyahu mengungkapkan niatnya untuk mencalonkan mantan Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump sebagai penerima Hadiah Nobel Perdamaian. Alasan utamanya? Peran Trump dalam mencetuskan Abraham Accords, kesepakatan bersejarah yang menormalisasi hubungan diplomatik antara Israel dan sejumlah negara Arab.
Langkah ini menuai pujian sekaligus kritik tajam dari berbagai kalangan. Sebagian pihak melihatnya sebagai bentuk penghargaan atas peran strategis Trump dalam menciptakan stabilitas baru di kawasan Timur Tengah. Namun, tak sedikit pula yang menilainya sebagai langkah politis yang sarat kepentingan pribadi dan geopolitik.
Trump dan Diplomasi Abraham Accords
Abraham Accords, yang diumumkan pada tahun 2020, merupakan kesepakatan diplomatik antara Israel dengan Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko. Dalam perjanjian itu, negara-negara Arab tersebut menyatakan pengakuan resmi terhadap Israel, membuka peluang kerja sama ekonomi, keamanan, dan budaya. Perjanjian ini dianggap sebagai terobosan signifikan setelah bertahun-tahun kebuntuan diplomasi Arab-Israel.
Trump saat itu mengklaim bahwa kesepakatan tersebut terjadi karena pendekatan barunya yang “non-konvensional” terhadap diplomasi, yang memanfaatkan tekanan ekonomi, janji investasi, serta campur tangan personal. Netanyahu, sebagai arsitek utama dari sisi Israel, menyebut Trump sebagai “tokoh kunci yang membuat sejarah.” Dalam wawancara terakhirnya, Netanyahu menyatakan, “Jika ada yang pantas menerima Nobel Perdamaian atas kontribusinya terhadap perdamaian di Timur Tengah, itu adalah Donald Trump.”
Nobel Perdamaian: Antara Simbol dan Kontroversi
Hadiah Nobel Perdamaian selalu menjadi simbol tertinggi bagi para tokoh dunia yang dianggap berjasa dalam menciptakan dunia yang lebih damai. Namun, sejarah menunjukkan bahwa penghargaan ini tak pernah lepas dari perdebatan. Pemberian Nobel kepada Barack Obama pada awal masa kepresidenannya atau kepada Yasser Arafat dan Shimon Peres setelah Kesepakatan Oslo menunjukkan bahwa Nobel juga sering menjadi alat diplomasi global, bukan semata-mata penghargaan atas keberhasilan jangka panjang.
Jika Trump benar-benar diajukan sebagai kandidat, pertanyaan penting yang muncul adalah: apakah keberhasilan Abraham Accords cukup untuk menutupi rekam jejak lain yang kontroversial? Di masa pemerintahannya, Trump dikenal sebagai sosok yang memperkeruh ketegangan dengan Iran, menarik diri dari perjanjian iklim Paris, dan menolak hasil pemilu AS yang sah. Banyak pihak mempertanyakan, apakah tokoh yang dianggap memperparah polarisasi global layak menyandang gelar “pembawa damai”?
Politik di Balik Niat Netanyahu
Pencalonan Trump oleh Netanyahu juga dinilai sarat muatan politik. Kedekatan mereka bukan rahasia umum—selama masa jabatan Trump, AS secara terang-terangan mendukung kepentingan Israel, mulai dari pemindahan kedutaan besar AS ke Yerusalem hingga pengakuan kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan.
Di sisi lain, Netanyahu juga tengah menghadapi tekanan politik di dalam negeri. Dengan mencuatkan nama Trump ke panggung internasional, ia seolah ingin menghidupkan kembali narasi keberhasilan masa lalu dan memperkuat posisinya di tengah krisis kepercayaan publik.
Respons Dunia Internasional
Reaksi dunia terhadap wacana ini beragam. Pemerintah UEA dan Bahrain menyambut baik inisiatif Netanyahu, meskipun tidak secara eksplisit mendukung pencalonan Trump. Sebaliknya, beberapa negara Eropa mempertanyakan nilai moral dari pencalonan tersebut, mengingat banyaknya kebijakan kontroversial Trump yang bertentangan dengan semangat multilateralisme dan hak asasi manusia.
Seorang diplomat senior dari Norwegia, yang enggan disebutkan namanya, menyatakan, “Abraham Accords memang sebuah capaian, tapi penghargaan Nobel membutuhkan lebih dari sekadar momen diplomasi. Ia harus mencerminkan karakter damai yang konsisten.”