Rencana Donald Trump untuk kembali mencalonkan diri sebagai Presiden Amerika Serikat pada Pilpres 2024 tampaknya bukan hanya menghidupkan kembali polarisasi politik di dalam negeri, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran global di bidang ekonomi. Dalam sejumlah pernyataannya, Trump menegaskan niat untuk menerapkan kebijakan dagang proteksionis, termasuk rencana kenaikan tarif terhadap negara-negara anggota BRICS—Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan—serta negara-negara berkembang lain seperti Indonesia.
Langkah Agresif Trump: Retorika atau Ancaman Nyata?
Dalam berbagai kampanye dan wawancara, Trump menuduh banyak negara “mencuri kekayaan Amerika” dengan memanfaatkan ketimpangan tarif dan praktik perdagangan yang menurutnya tidak adil. Ia menyebut bahwa negara-negara BRICS telah “menyandera” pasar Amerika lewat produk murah dan subsidi tersembunyi. Retorika seperti ini bukanlah hal baru dari Trump, namun kali ini ia menegaskan bahwa jika kembali menjabat, tarif baru akan dikenakan hampir ke semua negara dengan surplus perdagangan terhadap AS, termasuk negara sahabat seperti Indonesia.
“Amerika telah terlalu lama dimanfaatkan. Jika negara-negara seperti Tiongkok, India, bahkan Indonesia ingin menjual ke pasar kita, mereka harus membayar,” ujar Trump dalam salah satu kampanye terbarunya di Ohio.
Mengapa BRICS Jadi Sasaran?
BRICS kini semakin menunjukkan taring sebagai kekuatan alternatif dalam tatanan ekonomi global. Dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan inisiatif-inisiatif baru seperti pengembangan mata uang bersama atau dedolarisasi dalam perdagangan, blok ini dianggap oleh Trump sebagai tantangan serius terhadap dominasi ekonomi AS.
Khususnya Tiongkok dan India, dua negara dengan hubungan dagang signifikan dengan AS, menjadi sorotan utama. Namun yang mengejutkan adalah penyebutan negara-negara berkembang lain seperti Indonesia sebagai target potensial tarif tinggi. Ini menunjukkan bahwa Trump memandang ekonomi Global South bukan hanya sebagai mitra, tetapi juga pesaing yang perlu “dikendalikan” lewat tarif.
Dampaknya terhadap Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara dengan nilai ekspor signifikan ke AS, khususnya di sektor tekstil, alas kaki, elektronik, dan produk agrikultur. Jika tarif tinggi benar-benar diberlakukan, potensi kerugiannya bisa sangat besar, terutama bagi sektor UMKM yang menjadi tulang punggung ekspor non-migas Indonesia.
Kepala Ekonom Center for Economic Reform Indonesia (CERI), Dr. Yusran Mandala, mengatakan bahwa ancaman tarif dari Trump bisa memicu pergeseran strategi ekspor Indonesia.
“Jika kebijakan ini benar-benar diberlakukan, Indonesia perlu segera memperkuat pasar alternatif di Asia dan Timur Tengah. Ketergantungan terhadap pasar AS sudah saatnya dievaluasi,” ujarnya.
Respon Internasional dan BRICS
Negara-negara BRICS sendiri belum merespon langsung pernyataan Trump. Namun banyak analis menilai bahwa retorika semacam ini justru akan mempercepat agenda mereka untuk mengurangi dominasi dolar dan membentuk ekosistem perdagangan mandiri. BRICS, yang pada 2024 telah diperluas dengan masuknya Iran, Mesir, dan beberapa negara lain, semakin solid dalam menyuarakan tatanan multipolar.
Ancaman Proteksionisme: Deja Vu Perang Dagang 2018?
Jika benar-benar terealisasi, kebijakan ini berpotensi menghidupkan kembali ketegangan perdagangan seperti yang terjadi pada periode 2018–2020, ketika Trump menerapkan tarif tinggi terhadap produk-produk Tiongkok. Perang dagang saat itu mengguncang pasar global, menurunkan pertumbuhan ekonomi dunia, dan menciptakan ketidakpastian investasi jangka panjang.
Bedanya, kini skenarionya jauh lebih kompleks. BRICS bukan lagi kumpulan negara berkembang yang bergerak sendiri-sendiri, melainkan blok strategis dengan agenda bersama. Jika tarif diberlakukan serentak terhadap negara-negara BRICS dan mitra Global South lainnya, bukan tidak mungkin akan muncul bentuk baru dari “perang dagang global”, bahkan dengan kemungkinan pembalasan kolektif.