Tel Aviv/Washington D.C. — Rencana pemindahan paksa warga Gaza kembali mencuat ke permukaan, kali ini melibatkan dua tokoh berpengaruh: Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan mantan Presiden Amerika Serikat, Donald J. Trump. Keduanya disebut-sebut mendukung upaya relokasi besar-besaran warga Palestina dari Gaza ke luar wilayah tersebut, bahkan diklaim sudah ada negara-negara yang bersedia menampung mereka. Namun wacana ini langsung memicu kritik internasional yang menilai ide itu sebagai bentuk pembersihan etnis terselubung.
Rencana Relokasi: Lama Mengendap, Kini Diangkat Lagi
Isu relokasi warga Gaza bukanlah hal baru. Namun, menurut laporan yang bocor dari sumber diplomatik dan diungkap oleh beberapa media internasional pekan ini, Netanyahu disebut telah menghidupkan kembali agenda tersebut dalam beberapa pertemuan tertutup sejak awal tahun. Trump, yang tengah berkampanye untuk merebut kembali kursi kepresidenan AS, kabarnya juga menyatakan dukungan terhadap ide tersebut dalam diskusi dengan para donor politik konservatif.
“Kami sedang bekerja sama dengan beberapa negara sahabat untuk solusi jangka panjang. Beberapa dari mereka menunjukkan keterbukaan untuk menerima warga Gaza sebagai bagian dari solusi regional,” ujar salah satu pejabat senior Israel yang enggan disebutkan namanya, sebagaimana dikutip The Jerusalem Post.
Walau tidak menyebut secara eksplisit negara-negara yang dimaksud, spekulasi mengarah ke beberapa negara Afrika dan Timur Tengah. Mesir, Yordania, dan bahkan Rwanda disebut dalam berbagai laporan tidak resmi sebagai ‘calon negara penampung’. Namun, hingga kini belum ada pernyataan resmi dari negara-negara tersebut yang mengonfirmasi keterlibatan mereka.
Dikecam sebagai Pembersihan Etnis
Reaksi terhadap rencana ini datang cepat. Sejumlah organisasi hak asasi manusia, termasuk Human Rights Watch dan Amnesty International, mengecam wacana tersebut sebagai bentuk pembersihan etnis modern.
“Mengusir paksa lebih dari dua juta warga Gaza dari tanah kelahiran mereka, tanpa jaminan hak kembali, adalah pelanggaran berat terhadap hukum internasional,” ujar Sarah Leah Whitson, direktur eksekutif DAWN (Democracy for the Arab World Now).
PBB juga menyuarakan keprihatinan. Dalam sebuah konferensi pers di Jenewa, Juru Bicara Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) mengatakan, “Setiap upaya relokasi paksa yang tidak berdasarkan persetujuan sukarela dan tanpa jaminan hak asasi, adalah tindakan yang tidak dapat diterima.”
Gaza: Dari Krisis Kemanusiaan ke Potensi Eksodus Massal
Gaza saat ini berada dalam kondisi kemanusiaan yang sangat genting, terutama sejak meletusnya perang terbaru antara Israel dan Hamas pada akhir 2024. Serangan udara bertubi-tubi, blokade total terhadap pasokan makanan, obat-obatan, dan bahan bakar, serta lumpuhnya sistem kesehatan, menjadikan Gaza nyaris tidak layak huni.
Beberapa analis politik menilai bahwa krisis kemanusiaan ini dimanfaatkan sebagai alat tekanan agar warga Gaza ‘rela’ dipindahkan ke luar wilayah. “Ketika seseorang tidak punya rumah, makanan, atau keamanan, maka ‘relokasi sukarela’ bukan lagi pilihan bebas, melainkan paksaan terselubung,” kata Michael Lynk, mantan Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia di Palestina.
Kepentingan Politik di Balik Wacana
Ada pula yang melihat wacana relokasi ini sebagai manuver politik. Netanyahu tengah menghadapi tekanan domestik yang tinggi terkait skandal korupsi dan penurunan popularitas akibat perang berkepanjangan. Sementara Trump memanfaatkan isu Israel-Palestina sebagai bagian dari strategi kampanye untuk merebut kembali simpati kelompok evangelis dan konservatif pro-Israel di Amerika Serikat.
“Trump dan Netanyahu punya sejarah kerja sama yang erat. Isu ini bisa menjadi alat mobilisasi basis pendukung mereka, meskipun dengan mengorbankan hak asasi warga Gaza,” ungkap Prof. Hanan Ashrawi, mantan anggota legislatif Palestina dan akademisi terkemuka.
Masa Depan Gaza: Terombang-Ambing Antara Politik dan Kemanusiaan
Di tengah semua spekulasi, satu hal tetap nyata: nasib dua juta warga Gaza masih tergantung pada permainan politik para elite. Tanpa solusi diplomatik yang adil dan inklusif, dan selama suara warga Gaza sendiri terus diabaikan, wacana relokasi justru bisa memperburuk konflik jangka panjang di Timur Tengah.
Masa depan Gaza bukan sekadar soal geografi, tetapi tentang keadilan, identitas, dan hak asasi manusia yang tidak bisa dinegosiasikan.