Jakarta – Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) tengah menggodok wacana strategis yang berpotensi mengubah dinamika perjalanan ibadah haji jemaah asal Indonesia. Salah satu opsi yang sedang dipertimbangkan adalah pemangkasan durasi pelaksanaan ibadah haji menjadi hanya 30 hari. Wacana ini mencuat dalam rangka efisiensi biaya sekaligus merespons dinamika global yang terus berubah.
Langkah ini bukan tanpa alasan. Dalam beberapa tahun terakhir, biaya penyelenggaraan ibadah haji mengalami peningkatan signifikan, dipicu oleh inflasi global, perubahan kebijakan Pemerintah Arab Saudi, hingga kebutuhan peningkatan pelayanan. Di sisi lain, jumlah antrean jemaah haji Indonesia yang semakin mengular—bahkan di beberapa daerah mencapai lebih dari 30 tahun—menuntut solusi sistemik agar bisa melayani lebih banyak jemaah dalam waktu yang lebih singkat.
Latar Belakang dan Tujuan
Menurut Ketua BPKH, wacana pemangkasan waktu haji menjadi 30 hari didasarkan pada pertimbangan efisiensi anggaran serta optimalisasi penggunaan dana haji yang dikelola negara. Selama ini, masa tinggal jemaah haji Indonesia di Arab Saudi bisa mencapai 40 hingga 42 hari, tergantung pada kloter dan jadwal keberangkatan-pemulangan.
“Kalau bisa kita persempit menjadi hanya satu bulan, maka akan ada penghematan logistik, akomodasi, bahkan biaya transportasi domestik,” ujar seorang pejabat BPKH dalam pernyataannya baru-baru ini.
Efisiensi ini diharapkan akan berdampak pada besaran subsidi dari nilai manfaat dana haji yang selama ini digunakan untuk menutupi selisih antara Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang dibayar jemaah dengan biaya riil yang ditetapkan pemerintah.
Tantangan Implementasi
Namun, wacana ini bukannya tanpa tantangan. Banyak pihak mengingatkan agar efisiensi tidak mengorbankan kualitas ibadah jemaah. Sejumlah ulama dan pakar haji menekankan bahwa ibadah haji bukan semata urusan teknis-logistik, tetapi juga spiritual, dan memerlukan kesiapan mental serta fisik yang matang.
“Pemangkasan waktu jangan sampai membuat ibadah menjadi terburu-buru dan tidak khusyuk. Kita perlu menakar apakah dengan 30 hari, seluruh rangkaian manasik dan ibadah utama dapat dijalankan secara sempurna,” kata KH Ma’ruf Amin, Wakil Presiden RI sekaligus tokoh ulama, dalam satu forum diskusi kebijakan haji.
Selain itu, tantangan teknis seperti keterbatasan penerbangan, pengaturan kloter, serta potensi penumpukan jemaah pada waktu-waktu tertentu juga menjadi perhatian serius.
Respons Publik dan Solusi Alternatif
Di kalangan calon jemaah haji, tanggapan terhadap wacana ini cukup beragam. Sebagian mendukung upaya efisiensi, terutama jika berdampak pada percepatan antrean. Namun tak sedikit pula yang khawatir wacana ini mengurangi kualitas pengalaman spiritual yang selama ini menjadi puncak kehidupan keagamaan umat Islam.
“Kalau terlalu cepat, takutnya malah capek terus nggak maksimal ibadahnya. Tapi kalau bisa tetap khusyuk dan hemat, ya bagus juga,” ungkap Junaedi, calon jemaah asal Jawa Timur yang dijadwalkan berangkat pada 2027.
Sebagai jalan tengah, beberapa pengamat menyarankan adanya kloter opsional dengan waktu lebih singkat yang bisa ditawarkan kepada jemaah yang bersedia. Sistem ini dinilai dapat menjadi pilot project sebelum wacana diberlakukan secara nasional.